Rabu, 02 September 2015
Tatkala tubuh Nabi Ibrahim as dilempar ke kobaran api yang disiapkan oleh Namrud ibn Kan'an, seorang Raja yang pertama kali mengaku bahwa dirinya Tuhan dari Babil (dikenal juga dengan Babilonia, sebuah kerajaan besar di kurun 2275-1943 SM di selatan Mesopotamia, sekarang Irak), dikisahkan ada dua ekor binatang yang turut 'berpihak dan berkontribusi' baik terhadap Nabi Ibrahim as atau kepada Namrud. Kedua binatang tersebut adalah semut dan cicak.
Semut tersebut berlari-lari dengan susah payah berusaha memadamkan api yang membakar Nabi Ibrahim as dengan membawa butiran air di mulutnya.
Semua heran dan bertanya, "Wahai semut untuk apa kamu bawa butiran air kecil itu, tidak akan ada gunanya dibanding dengan api Namrud yang akan membakar Nabi Ibrahim?"
Semut itu menjawab, "Memang air ini tidak akan bisa memadamkan api itu, tapi paling tidak semua akan melihat bahwa aku dipihak yang mana".
Di sisi lain, cicak ikut meniup api yang dibuat oleh Namrud agar semakin membesar. Memang tiupan cicak tidak seberapa dan tidak akan membesarkan kobaran api itu, tapi dengan apa yang dilakukannya semua tahu cicak ada di pihak yang mana.
Akibat keberpihakannya ini, cicak dianjurkan untuk dibunuh.
"Dari Sa'ad ibn Abi Waqqash bahwasannya Nabi Muhammad saw memerintahkan untuk membunuh cicak. Dan beliau menamakannya (cicak ini) hewan kecil yang fasik" (HR. Muslim)
“Dahulu ia meniup api yang membakar Nabi Ibrahim as.” (HR. Bukhari dari Ummu Syarik)
Maraji': Shahih Qashashil Anbiya’ (Ibnu Katsir)
***
Lalu, di manakah keberpihakan kita saat ini? Di golongan 'semut' yang membela kebenaran atau di golongan 'cicak' yang membela kefasikan?
(Azzam Mujahid Izzulhaq)