Mimpi Rumah Sakit Megah dan Kegaduhan RS Sumber Waras


Kamis, 3 September 2015 | 07:46 WIB
KOMPAS.COM/WINDORO ADI Blok Plan RS spesialis stem cell (perawatan sel) Sumber Waras (kanan), dan Blok Plan RS spesialis jantung dan kanker DKI (kiri). Kedua RS akan berdiri di lahan seluas 69.888 meter persegi di Jalan Kyai Tapa, Grogol Petamburan, Jakbar.

KOMPAS.com - "Tahun 2012 kami mulai bermimpi, satu saat kami akan memiliki dua RS (rumah sakit)  -- RS spesialis stem cell (perawatan sel) dan infeksi, serta RS spesialis lainnya. Dua menara RS ini akan berdiri megah di atas lahan seluas 69.888 meter persegi di Jalan Kyai Tapa RT 010 RW 10, Grogol Petamburan, Jakarta Barat (Jakbar)," kata Direktur Umum dan Sumber Daya Manusia RS Sumber Waras Abraham Tedjanegara ketika ditemui di ruang kerjanya, pekan lalu. 
 
Ia lalu menunjukkan gambar blok plan dua bangunan RS nan megah itu (lihat foto).  Tak dinyana, gayung bersambut. Pada 15 Desember 2014, Pemprov DKI membeli sebagian lahan RS Sumber Waras seluas 36.410 meter persegi dengan harga senilai NJOP (nilai jual obyek pajak) tahun 2014, yaitu sebesar Rp 755.689.550.000.

Harga tanah per meter persegi sesuai NJOP kala itu, Rp 20.755.000. Di atas lahan tersebut, Pemprov DKI akan membangun RS khusus jantung dan kanker.
 
Abraham mengakui, sebelum Pemprov DKI membeli tanah tersebut, PT Ciputra Karya Unggul (CKU) sudah lebih dulu membeli tanah bersertifikat HGB (Hak Guna Bangun) nomor 2878 itu untuk keperluan komersial dengan harga Rp 564, 355 miliar.

Tanah per meter persegi yang dibeli CKU pada 14 November 2013 itu dihargai Rp 15,5 juta. Harga tanah per meter persegi sesuai NJOP tahun itu adalah, Rp 12, 195 juta. 
 
Sebagai tanda jadi, CKU membayar uang muka sebesar Rp 50 miliar dengan catatan, jika sampai 3 Maret 2014 peruntukan tanah tak bisa diubah untuk kepentingan komersial, maka pembelian batal.

Karena tak kunjung ada perubahan peruntukan, pada 9 Desember 2014 CKU membatalkan kontrak. Yayasan Kesehatan  Sumber Waras pun mengembalikan uang muka kepada CKU.  
 
Jalan mewujudkan impian akan dua RS yang bakal berdiri megah pun, kian lapang. Di atas lahan seluas total 69.888 meter persegi bakal berdiri dua menara RS.

Di sisi kiri akan berdiri RS jantung dan kanker milik Pemprov DKI, sedang di sisi kanan tak kalah megah, akan berdiri RS Sumber Waras. Di tengah kedua menara RS akan dibangun jalan lebar mulai dari pintu masuk - ke luar sampai ujung belakang kedua RS. 
 
Kegaduhan
 
Cepatnya langkah Gubernur Basuki Tjahja Purnama dan jajarannya membeli lahan dan merencanakan membangun RS kanker, membuat BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), DPRD DKI, serta sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan lembaga survei, curiga.Beberapa hal yang dianggap janggal oleh mereka antara lain soal nilai pembelian lahan yang dianggap berpotensi merugikan pemerintah daerah serta ketidaksiapan Pemprov DKI menyediakan tenaga kerja RS.
 
Kepala Biro Humas dan Kerjasama Internasional BPK, Yudi Ramdan Budiman merujuk halaman 198-199, buku III BPK tentang "Laporan terkait Kepatuhan terhadap Peraturan Perundangan" menyebutkan, ada selisih harga pembelian lahan sebesar Rp 191.334.550.000 yang berpotensi merugikan pemerintah daerah.

Angka tersebut berasal dari selisih angka pembelian lahan yang dilakukan CKU sebesar Rp 564.355 miliar, dengan angka pembelian lahan yang dilakukan Pemprov DKI senilai Rp 755.689.550.000.
 
Pada bagian ini, buku BPK tidak menyebutkan bahwa nilai NJOP saat lahan dibeli CKU, cuma Rp 12,195 juta per meter persegi, sedang NJOP saat lahan dibeli Pemprov DKI sudah mencapai Rp 20, 785 juta per meter persegi.

Tiadanya penjelasan mengenai adanya perubahan nilai NJOP ini, kata Yustinus Prastowo, memunculkan kesan, Pemprov DKI membeli lebih mahal ketimbang niat CKU sebelumnya membeli lahan yang sama.  
 
"Padahal kalau dasar pembeliannya adalah NJOP, maka Pemprov DKI justru lebih diuntungkan. Sebab, nilai pembeliannya hanya sebatas nilai NJOP. Berbeda dengan CKU yang hendak membeli lahan yang sama dengan nilai di atas NJOP," kata pakar pajak dari UI yang juga Direktur (CITA) Eksekutif Centre for Indonesian Taxation Analysis itu saat dihubungi, Selasa (1/9/2015).
 
"Tahun ini saja, nilai NJOP nya sudah naik lagi menjadi Rp 23, 295 juta per meter persegi," tambah Abraham sambil menunjukkan salinan SPPT tahun 2012, 2013, 2014, dan 2015. Di masing-masing SPPT tertera nilai NJOP dan letak obyek pajak yaitu di Jalan Kyai Tapa RT 10 RW 10, Tomang, Grogol, Petamburan, Jakbar.

Dalam salinan SPPT 2012 dan 2013, NJOP nya disebutkan masih Rp 12,195 juta. SPPT 2014 NJOP naik menjadi RP 20,755 juta per meter persegi. Tahun 2015 NJOP sudah Rp 23, 295 juta per meter persegi.
 
Prastowo berpendapat, tuduhan BPK bahwa ada selisih harga pembelian lahan sebesar Rp 191.334.550.000 yang berpotensi merugikan pemerintah daerah, tidak berdasar.
 
Pada halaman 208 buku III, BPK mempersoalkan kembali NJOP lahan tersebut. Menurut BPK, fisik tanah berada di Jalan Tomang Utara, bukan di Jalan Kyai Tapa, oleh karena itu, nilai NJOP tanah yang dibeli Pemprov DKI seharusnya hanya Rp 7.445.000 per meter persegi, dan bukan Rp 20, 785 juta per meter persegi. 
 
"Berdasarkan data NJOP dari Dinas Pelayanan Pajak DKI, Unit Pelayanan Pajak Daerah Grogol Petamburan dan aparat kelurahan setempat diketahui bahwa NJOP di Jalan Tomang Raya pada 2014 hanya Rp 7.445.000 per meter persergi," tulis BPK. 
 
Menanggapi hal ini Prastowo mengatakan, apa yang tercantum dalam SPPT sudah sah menurut hukum dan sesuai dengan Undang Undang nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah."Yang menentukan nilai NJOP itu Direktorat Jenderal Pajak. Tetapi sejak 2014, yang menentukan adalah pemerintah daerah setempat. Penetapan NJOP tercermin dalam peneraan di SPPT," tandas Prastowo.

Dalam SPPT RS Sumber Waras jelas disebut, letak obyek pajak ada di Jalan Kyai Tapa RT 010 RW 10, Grogol Petamburan, Jakbar, dan bukan di Jalan Tomang Raya.
 
SDM
 
Pada halaman 201 Buku III, BPK juga menilai, Pemprov DKI tidak siap membangun dan mengelola RS khusus jantung dan kanker.

"Tidak ada data atau hasil evaluasi yang menunjukkan bahwa Pemprov DKI siap untuk membangun dan mengelola RS khusus jantung dan kanker. Tidak ada data atau hasil evaluasi yang menunjukkan bahwa Pemprov DKI memiliki kuantitas dan kualitas SDM (sumber daya manusia), serta sarana dan prasarana yang memadai dan sudah siap untuk mengelola RS jantung dan kanker dalam waktu dekat," tulis BPK.
 
Yudi Ramdan pun mengingatkan, pasal 26 ayat (2) menyebutkan, setiap orang yang tidak memenuhi kewajiban untuk menindaklanjuti rekomendasi yang disampaikan dalam laporan hasil pemeriksaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan dan atau denda paling banyak Rp 500 juta.
 
Menanggapi hal ini, Tri Firdaus, notaris yang menangani pengurusan sertifikat lahan Sumber Waras yang dibeli Pemprov DKI mengatakan, persoalan hukum soal lahan sudah selesai.

"Semuanya lancar dan sudah on the track. Mudah-mudahan bulan ini sertifikat hak pakai sudah bisa terbit," ucapnya, Selasa (1/9). 
 
Hal senada disampaikan Kepala Dinas Kesehatan DKI, Kusmadi Priharto. Kini, kata dia, Pemprov DKI sedang menyurvei persiapan untuk membangun RS jantung dan kanker, 25 lantai.

"RS akan dilengkapi apartemen yang bisa disewa keluarga pasien. Keuntungan hasil sewa apartemen untuk subsidi silang pelayanan kesehatan Pemprov DKI, khususnya untuk pasien kurang mampu RS ini," ungkapnya, Rabu (2/9/2015).
 
Kusmedi menambahkan, RS ini akan dilengkapi cadangan listrik dari sejumlah unit generator yang dihubungkan dengan jaringan pipa gas.
"Jadi bahan bakar pembangkit listriknya nanti, berasal dari gas. Dengan bahan bakar gas, kami bisa berhemat sampai 35 persen. Untuk sementara, kami menyiapkan sejumlah unit generator ini sebagai cadangan listrik kalau listrik padam. Tetapi tidak tertutup kemungkinan akan kami terapkan secara permanen. Ya nanti kita lihat hasil surveinya," ucapnya.
 
Pada bagian lain Kusmedi mengatakan, kekhawatiran BPK mengenai kesiapan Pemprov DKI menyediakan tenaga kerja RS, tidak beralasan. Sebab, perbandingan antara penawaran dan permintaan tenaga kerja kesehatan di Jakarta masih jauh lebih banyak penawarannya.

"Kalau di Papua, mungkin kita perlu khawatir," tuturnya. 
 
Ia tidak sependapat dengan tuntutan BPK agar Pemprov DKI melaporkan usulan lebih lengkap dari sejak membeli lahan, membangun gedung, sampai ke kesiapan tenaga kerjanya.

"Ya kan mesti bertahap. Survei dulu, baru beli lahan lalu dilaporkan. Beli lahan selesai survei lagi buat mempersiapkan pembangunan gedung, dilaporkan lagi. Pembangunan gedung mulai berjalan, kami baru menyiapkan tenaga kerjanya, lalu dilaporkan lagi. Ya tahap demi tahap dong. Enggak bisa sekaligus satu paket dan enggak mungkin," ujar Kusmedi. 

Page:

Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:

Penulis: Windoro Adi
Editor : Heru Margianto