Hari ini, Jumat 14 Agustus 2015, tepat dua tahun terjadinya 'Tragedi Rabia' pembantaian demonstran damai pendukung Presiden Muhammad Mursi yang dilakukan rezim kudeta militer As-Sisi.
Salah satu yang menjadi Syuhada adalah seorang akhwat jurnalis, Habibah bin Abdul Aziz.
Habibah (26 tahun), seorang jurnalis perempuan yang sejak kecil telah akrab dengan kata-kata syuhada, tumbuh dari keluarga para mujahid. Sang ayah adalah pejuang Afganistan melawan Rusia yang bekerja di bagian Media, begitupun sang ibu, ia ikut menemani sang suami berjuang di Afganistan. Maka tak heran jika, tokoh Syahidah kita kali ini tumbuh dengan cita-cita luhur memburu surga-Nya dengan syahid sebagai cita tertingginya. Dan ia pun mendapatkan cita tertingginya tersebut di Lapangan Rabiah Al-Adaweah, citanya telah dikabulkan dan Allah memilihnya untuk syahid di Lapangan Rabiah pada pembantaian demonstrasi damai pendukung legitimasi dan demokrasi Mesir, pada tanggal 14 Agustus 2013.
Habibah bin Abdul Aziz, lahir di Kairo pada tanggal 22 November 1986. Dia bekerja sebagai Jurnalis Koran Gulf News Dubai. Putri dari Dr. Ahmad Abdul Aziz (Penasehat Media Presiden Mursi) masuk bergabung dengan demonstrasi Rab’ah pada tanggal 30 Juli 2013. Di Rab’ah ia bertugas di media center dan menjadi relawan Aljazera Live Mesir. Habibah wafat pada tanggal 14 Agustus 2013 dalam pembantaian demonstrasi damai pendukung Legitimasi Presiden Muhammad Mursi dengan tembakan di bagian jantung yang menembus punggung dalam peritiwa pembantaian Rab’ah Al-Adawiyah.
Habibah tumbuh di medan juang dan telah terbiasa dengan kalimat syahid. Latar belakang perjuangan inilah yang diwarisi oleh Habibah dari orang tuanya, hingga Habibah mewujudkan impiannya yaitu meraih syuhada.
Dari penuturan Shabren Manjud, Ibu Habibah menceritakan perjalanan keluarga beliau yang hidup di Medan Jihad, mulai dari Afganistan, Pakistan, hingga di Mesir. Ibunya bercerita bahwa setahun setelah kelahiran Habibah, ia dan keluarganya berangkat ke Pakistan untuk membantu suaminya yang berjihad di Afganistan melawan Rusia. Suaminya membantu perjuangan Mujahidin Afganistan lewat media dan bekerja sebagai direktur Majalah Al-Mujahidin. Di antara pekerjaannya adalah mempublikasikan foto-foto syuhada Arab dan Afganistan dalam perang. Saat itu foto-foto syuhada sebelum dimasukkan ke komputer terlebih dahulu digunting dan ditempel. Habibah senantiasa bersama ayahnya, ikut menyaksikan foto-foto. Terkadang bertanya dan dijawab sesuai dengan kadar akal Habibah saat itu.
Habibah tumbuh besar dan tidak melupakan arti dari kata syuhada. Saat Habibah masuk ke sekolah dan mulai belajar sejarah, namun seluruh sejarah didistorsi dari awal hingga akhir. Maka Habibah pun hanya disuruh oleh ibunya untuk hanya menulis di lembaran soal. Adapun faktanya maka diberikan penjelasan yang benar. Minatnya menggeluti jurnalis telah tumbuh dalam diri Habibah sejak kecil, menurut ibunya, setiap kali Habibah melihat berita, ia selalu bertanya dan ibunya pun menjawabnya sesuai dengan kemampuan Habibah.
Saat jihad Palestina bergema dan munculnya tokoh-tokoh jihad Palestina seperti Syaikh Ahmad Yasin dan Dr. Abdul Aziz Rantisi dan lainnya, Habibah mulai konsen terus mengikuti berita setiap yang berkaitan dengan permasalahan Palestina. Saat Habibah masuk ke perguruan tinggi di Universitas Amerika, Habibah pun bergabung di Club Palestina di dalam setiap aksi dan seminar-seminarnya. Ia juga memperkenalkan permasalahan Palestina.
Pada penyerangan Israel ke Gaza tahun 2008, Habibah masih berstatus sebagai mahasiswa. Ia berusaha dengan segala kemampuannya untuk mengumpulkan donasi Palestina dan bergabung dalam team yang akan berangkat ke Jalur Gaza untuk bekerja sebagai relawan, namun pemerintahan Mesir yang saat itu dipimpin oleh Presiden Mubarak menghalangi team relawan ini sebagaimana menghalangi setiap usaha untuk meringankan penderitaan penduduk Gaza.
Ia terus aktif melakukan aksi kepedulian pada dunia Islam, hingga terjadi revolusiArab Spring di Tunisia, disusul benih-benih revolusi di Mesir juga meledak. Saat itu Habibah telah bergabung dengan Koran Gulf News di Dubai sebagai jurnalis sehingga Habibah belum bisa ikut serta turun dalam peristiwa Revolusi Januari. Ia sempat turun pada peristiwa Muhammad Mahmoud.
Kemudian meledak juga revolusi di Suriah dan kami menyaksikan pembantaian yang dilakukan oleh rezim tirani di Suriah. Habibah juga tergerak mendukung saudara-saudaranya di Suriah dengan segala cara melalui media dan relawan kemanusiaan. Saat itu, Habibah telah bersiap-siap berangkat ke Suriah membawa bantuan kemanusiaan, tetapi terhalang di tempat kerjanya.
Saat terjadi kudeta militer As-Sisi, Habibah pun bergabung dengan gerakan anti kudeta, dan ikut demonstrasi sit-in (bertahan) di Rab’ah. Pada awal aksi bertahan Rab’ah, Habibah ingin ikut bergabung, namun baru bisa bergabung pada tanggal 30 Juli 2013 dengan dimulainya liburan akhir tahun. Habibah pun langsung bergabung dengan orang-orang bertahan di Rab’ah dan bertekad untuk tidak menyerah memperjuangkan hak dan kebebasan rakyat Mesir (saat itu Rab'ah menjadi pusat para pendukung Mursi menyuarakan penolakan atas kudeta).
Di Rab’ah, Habibah bertugas di media center, namun ia ingin pekerjaan yang lebih. Ia pun bergabung dengan Aljazeraa Live Mesir sebagai relawan dan bekerja dengan membawa kamera siaran langsung.
Menurut temannya, Habibah hanya perlu belajar dua jam untuk memegang kamera live. Habibah ikut merekam pembantaian pembubaran demonstrasi Rab’ah. Menurut saksi mata, saat terjadi pembubaran demonstran, Habibah berada di baris terdepan. Habibah juga menyaksikan sniper sebagaimana yang ia tulis dalam statusnya difacebook.
Saat terjadi kejahatan pembantaian demonstrasi damai Rab’ah Al-Adawiyah, Habibah maju hingga mendekati pos tentara As-Sisi untuk merekam secara live dengan segala kemampuannya, dan menampakkan kejahatan yang dilakukan pihak kudeta. Orang-orang sekeliling Habibah berteriak dan memintanya untuk balik, namun Habibah tetap maju untuk merekam semua peristiwa pembantaian. Semua yang direkam oleh Habibah dengan kameranya digunakan oleh Aljazeera untuk membuat dokumentasi pembakaran Rab’ah di channel Aljazeera.
Ini terjadi hingga prajurit As-Sisi menghentikannya. Ia tertembak pas di bagian jantung dan tembus keluar di bawah punggungnya. Inilah Habibah Abdul Aziz yang merindukan syahid di setiap fase umurnya. Allah telah mengaruniai Habibah apa yang diinginkannya. Dua Hari sebelum pembantaian Rab’ah, ia berpesan kepada kerabatnya: "Sisi akan melakukan pembantaian yang sangat besar, dan aku termasuk salah satunya. Setelah itu akan datang kemenangan.” Pembantaian pun telah terjadi, dan sekarang kita sedang menanti datangnya kemenangan.
Percakapan Terakhir As-Syahidah Habibah dengan Ibunya
Pada pukul 06.19 pagi terjadi percakapan antara Habibah Ahmad Abdul Elaziz dengan ibunya, Sabreen Mangoud.
Ibunda: Habibah putriku gimana kabarmu. Bagaimana perkembangan serangan yang terjadi di Mesir. Saya sangat khawatir, tenangkan saya.
Habibah: Saat ini benar-benar ada pergerakan militer dan polisi di pintu-pintu masuk, dan saat ini Pusat Media Center sekarang telah disulap menjadi Rumah Sakit Darurat (Lapangan) dan lapangan Rab’ah dalam kondisi yang sangat darurat.
Ibunda: Dan kamu dimana sekarang?
Habibah: Hanya jurnalis yang tersisa bertahan di gedung dan saya diminta untuk merekam peristiwa Nashb Tidzkari saat terjadi penyerangan.
Ibunda: Nashb apakah sedikit jauh dari Rab’ah?
Habibah: Aparat keamanan telah berada di setiap jalan masuk saat ini. Sementara saya berada di Media Center. Tidak terlalu jauh, dan pintu masuknya lumayan besar dan mudah terbakar.
Ibunda: Lalu apakah kerumunan militer dan polisi sangat banyak?
Habibah: Ya mereka sangat banyak, tapi kemungkinan pergerakan ini akan jadi perang saraf.
Ibunda: Dan kamu mau pergi ke Manasha gimana?
Habibah: Berjalan seperti yang lainnya, atau berlari sesuai dengan situasi.
S: Semoga Allah Menolong kita.
Pukul 07:33
Ibunda: Bagaimana kabarmu sekarang di sana?
Habibah: Sekarang jurnalis asing telah sampai di media center
Ibunda: Maksudku bagaimana kabar kerumunan, Kabari saya agar saya bisa tenang dengan kondisimu.
Habibah: Saya telah meminum tiga butir obat, saya sangat dingin dan badanku gemetaran. Jumlah yang sangat banyak dalam siaga tinggi. Doamu wahai bundaku.
Ibunda: Ya Tuhan… Ketegaran (ketsabatan), kemenangan dan pengokohan. Ya Allah..turunkan pertolonganmu agar kami bisa mengalahkan mereka. Aku titipkan engkau pada Yang Maha Hidup, Yang Tidak Lalai, dan Tidak Tidur.
Habibah: Sekarang saya ke atas panggung sedikit. Terlihat tank tank di sana.
Ibunda: Ya Tuhan..kuatkan mereka (para pendukung Mursi), tegarkan mereka. Berikan mereka pertolongan. Sesungguhnya mereka (pihak kudeta) telah membuat-Mu marah.
Pukul 12:46 Sabreen Mangoud berkata, “Hai Habibah putriku, saya mohon tenangkan saya dengan dirimu. Saya telah menghubungimu ribuan kali. Saya mohon padamu wahai putriku, darahku telah berhenti. Tenangkan saya dengan kabar darimu.”
....Habibah sudah menemui rabbnya sebagai syahidah.
*Sumber: www.syuhadar4bia.com