Jumat, 14 Agustus 2015
Oleh: Nasihin Masha*
(Pemred Republika)
“Mari kita hormati keputusan Presiden...” dan bla bla bla kalimat bijak lainnya. Kalimat-kalimat berayun yang mencoba menenangkan semua sisi untuk menghentikan diskusi.
Kamis (13/8) kemarin, saya memang memantik diskusi ihwal pencopotan Rachmat Gobel dari jabatan menteri Perdagangan. Saya menyebarkan tulisan Uni Lubis, wartawan senior, tentang kinerja Gobel ke lima grup Whatsapp--lucunya, viral itu justru balik lagi ke saya. Link tulisan itu awalnya saya dapat dari posting Timbo Siahaan, pemred JakTV di sebuah grup virtual. Pada umumnya, nada diskusi menyayangkan pencopotan itu, hanya satu grup yang menimbulkan pro-kontra dengan diskusi yang panas.
Saya bukan termasuk wartawan yang punya kedekatan khusus dengan Gobel--ini perlu dikemukakan karena ada yang menilai bahwa sikap itu untuk membela dia karena saya berteman dengannya. Sebagai menteri, Gobel sudah bekerja dengan relatif baik.
Problem tata niaga Indonesia adalah karena rantai distribusi yang terlalu panjang dan bersifat mafia. Ada kartel yang mengatur harga barang sesuai selera mereka. Karena itu, kita mengenal akrab sebutan mafia beras, mafia daging, mafia minyak goreng, mafia gula, mafia garam, mafia cabai, mafia bawang, dan seterusnya. Ada pula sebutan samurai dan naga. Intinya, distorsi tata niaga ini merugikan konsumen, petani, dan peternak. Pedagang kecil yang berada di ujung mata rantai pun bagian dari korban.
Tentu sangat aneh, negeri yang subur ini menjadi importir beras, jagung, daging, kedelai, gula. Bahkan, negeri dengan pantai yang termasuk terpanjang di dunia ini juga mengimpor garam dalam jumlah yang besar. Ini bukan karena peneliti tak menemukan varietas yang baik. Juga, bukan karena insinyur tak menemukan teknik bertani dan beternak yang bagus.
Ini semata-mata karena ada kartel yang membuat peternak dan petani terhuyung-huyung, bahkan pingsan. Petani dan peternak menjadi malas karena merugi atau untung tipis. Ada upaya menciptakan ketergantungan pada impor. Karena itu, situasi ini pada akhirnya merugikan bangsa dan negara ini.
Gobel menyatakan perang pada semua mafia itu. Bahkan, dia memanggil para samurai dan naga yang cuma berjumlah kurang dari hitungan jari tangan. Tak hanya itu, ia juga lebih menguatkan peran Bulog dan koperasi. Ini juga untuk memberi ruang bagi pedagang pasar untuk bisa untung dan jaminan pasokan.
Apalagi, ia memiliki program 5.000 pasar tradisional. Ini lebih adil karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Hasilnya cukup baik. Selama Lebaran, harga kebutuhan pokok stabil, tak ada lonjakan. Hanya harga daging yang naik. Daging memang yang paling rumit. Selain ini menyangkut makhluk hidup--ada masa pertumbuhan tertentu dan perkembangbiakan yang tak bisa masif dalam seketika--juga karena penguasanya adalah negeri kuat: Australia.
Dan, sepekan sebelum reshuffle, pukulan itu diberikan. Harga daging melambung tak terkendali, bahkan pedagang mogok. Begitu reshuffle dipastikan terjadi, hari itu juga daging ada lagi di pasar. Begitu terang benderang peperangannya.
Negara kalah, Merah Putih di bulan kemerdekaan ini tak bisa berkibar. Gobel dicopot.
Indonesia juga merupakan surga bagi penyelundupan dan banjir impor barang berkualitas rendah. Inilah yang juga ditata Gobel. Pintu-pintu penyelundupan diawasi ketat. Pintu-pintu masuk impor diatur ulang agar barang kualitas rendah tak bisa masuk, termasuk pakaian bekas yang memukul industri garmen rakyat. Cina adalah negeri yang terpukul kebijakan ini.
Memang, di tengah ekonomi global yang lesu, angka ekspor merosot. Namun, dengan mengerem laju impor, neraca perdagangan Indonesia tetap surplus. Salah satu legacy (kebijakan) Gobel adalah pelarangan penjualan miras di minimarket.
Tentu, Gobel memiliki sejumlah kekurangan. Dia tidak atraktif saat berbicara, bukan hanya diksi dan intonasi, tapi juga ekspresi dan irama. Dia juga terlalu rendah hati untuk memanfaatkan media massa dalam mengekspos kinerjanya.
Kasus dwelling time yang tak kunjung terselesaikan juga titik lemah lainnya. Kasus ini menuai korban. Polisi menahan Partogi Pasaribu, dirjen perdagangan luar negeri Kemendag, sebagai tersangka penerimaan suap. Sejumlah staf di ditjen ini juga menjadi tersangka.
Presiden Jokowi sudah berkali-kali meminta agar proses bongkar-muat di pelabuhan ini dipercepat. Dwelling time memang rumit, kronis, dan melibatkan banyak kementerian dan lembaga. Kasus ini juga sudah coba diselesaikan sejak masa pemerintahan sebelumnya.
Sejumlah kalangan juga mengkritik bahwa bahasa Inggris Gobel tak cukup mahir untuk ukuran menteri perdagangan. Ia memang lebih mahir berbahasa Jepang. Gobel juga tak pandai memanfaatkan modal sosial dan modal politik yang dimilikinya. Kementerian adalah lembaga politik, tidak bisa hanya mengandalkan profesionalitas belaka. Karena itu, ketaktisan memilih dan memilah tim dan kawan sangatlah penting. Memilah dan memilih kawan kongkow berbeda dengan memilah dan memilih kawan perjuangan.
Negeri ini membutuhkan banyak pejuang. Terlalu besar tantangannya, terlalu rumit masalahnya. Jabatan memang bukan segalanya, tapi jabatan juga amanah. Ada pesan dan tanggung jawab di dalamnya. Karena itu, jabatan layak diperjuangkan dalam konteks ini.
Pencopotan Gobel menjadi bukan melulu urusan pribadi Gobel. Dia menjadi menyatu dengan apa yang diperjuangkannya dan pada amanah serta tanggung jawab yang melekat pada lembaga kementerian. Kita layak mengkritisi pencopotan Gobel bukan dalam konteks pribadinya. Karena, di sana ada Merah Putih, ada amanat proklamasi. Apalagi, jika betul bahwa pencopotan dirinya karena kredonya untuk memerangi mafia.
Amanah sebagai aparat negara adalah untuk kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial. Bukan semata-mata melihat neraca perdagangan, bukan pula soal besaran ekonomi.
Terlalu banyak menteri yang lebih layak dicopot, tapi Gobel tak punya daya politik. Itulah makna reshuffle kali ini.
*Sumber: ROL