31 Agu 2015 at 20:32 WIB
Liputan6.com, Jakarta -
Langkah devaluasi yang dilakukan oleh otoritas moneter China terhadap
mata uang Yuan telah menjadi pendorong utama volatilitas di pasar valuta
asing selama dua pekan terakhir. Mata uang di wilayah Asia langsung
terdampak negatif terhadap kebijakan tersebut. Sebagian besar melemah.
Dampak devaluasi Yuan tidak hanya berhenti di Asia saja. Episode terus berlanjut ke negara-negara di lain, termasuk Amerika Selatan. Beberapa negara di Amerika Selatan memang menjadi mitra dagang dari China, sehingga jika terjadi sesuatu hal ke China maka mitra dagang tersebut akan berdampak.
Mata uang Tenge Kazakhstan sebenarnya menjadi mata uang yang paling parah terkena dampak dari devaluasi Yuan. Mata uang negara di Asia Tengah ini sebenarnya sudah melemah sejak tahun lalu karena terseret pelemahan yang terjadi pada rubel Rusia.
Penulis Frontier, Gavin Serkin, menyatakan selain Tenge Kazakhstan, Ringgit Malaysia juga menjadi mata uang yang mengalami pelemahan cukup dalam setelah depresiasi Yuan dalam tiga hari berturut-turut.
Mata uang negeri jiran ini melemah ke level terendah dalam 17 tahun terakhir pada Kamis 20 Agustus 2015. Karena pelemahan tersebut, pemerintah Malaysia melakukan berbagai langkah penanggulangan dengan mengguyur pasar dengan dolar AS.
Akibatnya, cadangan devisa Malaysia merosot di bawah US$ 100 miliar. Merupakan level terendah untuk kali pertama sejak tahun 2010 lalu.
Sedangkan negara di Amerika Selatan yang mengalami penurunan mata uang cukup tinggi adalah Kolombia dan Meksiko. Untuk periode 7 Agustus hingga 21 Agustus Peso Kolombia dan Peso Meksiko memimpin kejatuhan mata uang di wilayah Amerika Selatan. Kedua negara ini memang mengekspor minyak mentah dalam jumlah yang banyak ke China.
Berdasarkan data dari Pension Partners, lembaga investasi internasional yang didirikan oleh Edward M. Dempsey, jika dihitung sejak 30 Mei 2014 di mana The Fed mulai memberikan sinyal untuk menaikkan suku bunga acuan, hingga 20 Agustus 2015 kemarin, mata uang rubel Rusia merupakan mata uang yang mengalami penurunan paling tajam terhadap dolar AS. Disusul kemudian adalah Peso Kolombia dan kemudian Real Brasil.
Pelemahan Rubel mencapai 49 persen. kejatuhan terdapat rubel dicetak pada 16 Desember 2014. Sedangkan untuk Peso Kolombia mengalami pelemahan 38 persen yang dicetak pada 20 Agustus 2015.
Indonesia sebenarnya cukup beruntung karena pelemahannya hanya sebesar 14 persen periode yang sama. Sedangkan untuk Malaysia telah melemah 22 persen.
Dampak devaluasi Yuan tidak hanya berhenti di Asia saja. Episode terus berlanjut ke negara-negara di lain, termasuk Amerika Selatan. Beberapa negara di Amerika Selatan memang menjadi mitra dagang dari China, sehingga jika terjadi sesuatu hal ke China maka mitra dagang tersebut akan berdampak.
Mata uang Tenge Kazakhstan sebenarnya menjadi mata uang yang paling parah terkena dampak dari devaluasi Yuan. Mata uang negara di Asia Tengah ini sebenarnya sudah melemah sejak tahun lalu karena terseret pelemahan yang terjadi pada rubel Rusia.
Penulis Frontier, Gavin Serkin, menyatakan selain Tenge Kazakhstan, Ringgit Malaysia juga menjadi mata uang yang mengalami pelemahan cukup dalam setelah depresiasi Yuan dalam tiga hari berturut-turut.
Mata uang negeri jiran ini melemah ke level terendah dalam 17 tahun terakhir pada Kamis 20 Agustus 2015. Karena pelemahan tersebut, pemerintah Malaysia melakukan berbagai langkah penanggulangan dengan mengguyur pasar dengan dolar AS.
Akibatnya, cadangan devisa Malaysia merosot di bawah US$ 100 miliar. Merupakan level terendah untuk kali pertama sejak tahun 2010 lalu.
Sedangkan negara di Amerika Selatan yang mengalami penurunan mata uang cukup tinggi adalah Kolombia dan Meksiko. Untuk periode 7 Agustus hingga 21 Agustus Peso Kolombia dan Peso Meksiko memimpin kejatuhan mata uang di wilayah Amerika Selatan. Kedua negara ini memang mengekspor minyak mentah dalam jumlah yang banyak ke China.
Berdasarkan data dari Pension Partners, lembaga investasi internasional yang didirikan oleh Edward M. Dempsey, jika dihitung sejak 30 Mei 2014 di mana The Fed mulai memberikan sinyal untuk menaikkan suku bunga acuan, hingga 20 Agustus 2015 kemarin, mata uang rubel Rusia merupakan mata uang yang mengalami penurunan paling tajam terhadap dolar AS. Disusul kemudian adalah Peso Kolombia dan kemudian Real Brasil.
Pelemahan Rubel mencapai 49 persen. kejatuhan terdapat rubel dicetak pada 16 Desember 2014. Sedangkan untuk Peso Kolombia mengalami pelemahan 38 persen yang dicetak pada 20 Agustus 2015.
Indonesia sebenarnya cukup beruntung karena pelemahannya hanya sebesar 14 persen periode yang sama. Sedangkan untuk Malaysia telah melemah 22 persen.