Kurir wanita ini jadi saksi Pertempuran Kemit di Gombong


Senin, 17 Agustus 2015 09:08
Kurir wanita ini jadi saksi Pertempuran Kemit di Gombong
Pahlawan wanita. ©2015 Merdeka.com



Merdeka.com - Para pejuang bukan hanya orang-orang yang terjun langsung dalam suatu pertempuran, namun juga mereka yang turut membantu memperjuangkan kemerdekaan meski dengan melakukan hal-hal kecil. Bahkan dari hal kecil itu, bisa membawa perubahan yang besar.

Seperti yang dialami oleh Soepia Subito, seorang nenek yang pernah menjadi kurir wanita saat Pertempuran Kemit di Gombong, Jawa Tengah. Meski saat itu Soepia masih berusia 14 tahun, namun dia tetap berjuang merebut kemerdekaan dari tangan penjajah.

Pada tahun 1947, Soepia mengikuti jejak kakaknya yang merupakan seorang kepala persenjataan di pasukan tentara republik. Sebagai kurir, dia bertugas mengantarkan surat dari komando pasukan ke tentara republik yang berada di wilayah kekuasaan Belanda.

"Kami jadi kurir dari daerah republik ke daerah Belanda, Belanda ke republik. Jadi setiap nyebrang di perbatasan ya digeledah. Ini udah perbatasan, kalau tentara kita mau gerilya saya disuruh bawa surat dari komando militer ke Gombong ke saudara yang ada di daerah Belanda. Mereka nanya gerilya lewat mana yang Belanda engga patroli ke daerah itu," kata Soepia saat perayaan Hari Veteran Nasional di gedung Jakarta Convention Centre (JCC), Jakarta Selatan, Selasa (11/8).

Agar lolos dari pemeriksaan, Soepia harus berpura-pura sebagai rakyat biasa yang hanya ingin melewati perbatasan untuk berjualan. Sementara itu, surat yang dia bawa akan disimpan rapi di bawah kaki rinjing bambu agar tidak terlihat oleh tentara Belanda.

"Saat masuk ke perbatasan pura-pura jual telur, jual kelapa. Nanti pulang pura-pura beli beras atau apa. Penampilannya seperti rakyat biasa," jelasnya.

Selain itu, wanita kelahiran Maret 1933 ini juga bertugas mengisi ulang persenjataan untuk para tentara saat pertempuran. Bahkan dia juga sering mengantarkan makanan dari markas kesatuan yang terletak di gunung, ke garis depan yang ada di perkampungan di daerah Kemit.

Sayangnya, Soepia tidak mendapat perbekalan ilmu untuk mempertahankan diri dari serangan musuh. Sehingga dia benar-benar harus mencari jalan sendiri ketika bertemu dengan musuh.

Jika ada pertempuran, Soepia hanya bisa tiarap agar tidak menjadi sasaran peluru. Sehingga dia harus melihat sendiri rakyat dan tentara yang gugur di medan perang.

"Belanda kan punya senjata sambil patroli ke kampung. Kalau mereka ketemu Belanda ya ditembak. kami kalau ada patroli itu hanya tiarap. Yang saya sedih itu waktu pasar candi, dari atas di bom, dari jauh ditembaki, tentara banyak yang mati, rakyat juga banyak yang mati dan saya lihat jenazah-jenazah itu," imbuh nenek usia 82 tahun itu.

Kini, Soepia tengah aktif menyebarkan semangat juang para wanita dari berbagai yayasan. "Kegiatan setiap hari saya banyak sekali di lokalisasi-lokalisasi, PKK dan biarawati. Di pelatihan pejuang 45 yang gedungnya di Gedung Joeang. Saya juga gabung ke veteran. Kami di biarawati juga masuk ke wanita pejuang tapi sekarang udah jadi yayasan," imbuhnya.

Dia berpesan, agar masyarakat Indonesia, terutama generasi muda bisa meneruskan semangat para pejuang untuk meraih kemerdekaan, salah satunya bebas dari korupsi dan narkoba. Sebab, hal itu akan merusak mental dan moral bangsa.

"Dulu kami yang berjuang tanpa ada keinginan apa-apa kecuali menang. Tapi para koruptor yang udah enak tapi malah merugikan bangsa," ungkapnya dengan mata yang berkaca-kaca.
Baca juga:
Seluk beluk BKR, petugas pengamanan pertama di RI setelah merdeka
Muslihat Casa di Operasi Seroja
Upaya Kolonel Siswanto pulangkan prajurit Operasi Dwikora
Kisah Hatta: Orang Tapanuli Selatan tak bisa nyanyi Indonesia Raya
Kisah Bung Hatta bikin malu pemuda yang hina presiden Soekarno
[war]