Minggu, 23 Agustus 2015
Oleh: Asma Nadia*
Ada perlakukan yang tidak biasa saya alami ketika menuju Tianjin dari Bandara Beijing. Petugas bandara Beijing memeriksa begitu ketat, bahkan bisa dikatakan ekstra ketat, penuh curiga, sangat berbeda dari biasanya.
Mereka bahkan meminta saya membuka jilbab (belum pernah saya alami sebelumnya) dan juga meminta saya membuka pakaian karena mengira baju yang saya kenakan adalah jaket (ini salah paham). Saya cukup berkeras menghadapi petugas setempat sampai akhirnya bisa meninggalkan Beijing tanpa harus melakukan apa yang mereka “minta” yang dalam kacamata Islam bisa dianggap tidak menghormati kepercayaan individu.
Sikap yang jauh berbeda saya rasakan begitu tiba di Tianjin dan Yunnan. Penduduknya ramah. Murah senyum dan sangat hangat menyambut kedatangan saya dan teman-teman yang sedang mempersiapkan melihat lokasi untuk televisi seri "Assalamualaikum Beijing".
Saat meninggalkan Beijing, awalnya saya merasa diperlakukan tidak pantas. Akan tetapi, setelah membaca beberapa berita, saya mulai memahami mengapa hal itu terjadi.
Ternyata, ketika kami berada di Beijing, terjadi ledakan besar di Tianjin, peristiwa yang saya dengar, tapi tidak mendetail karena sibuk beraktivitas di Beijing dengan akses internet terbatas. Di berbagai beritaonline, digambarkan ledakan yang menelan ratusan nyawa dan ribuan mobil serta rumah itu bahkan terlihat seperti ledakan bom atom setara 21 ton TNT.
Memang, sejauh ini tidak ada yang menuduh kalangan Muslim sebagai penyebab peristiwa ledakan. Namun, banyak pihak mengkritisi penyelidikan dan penanganan yang tidak transparan atas peristiwa ini.
Bukan mustahil saya hanya berada di waktu yang salah, sehingga mengalami pemeriksaan tidak menyenangkan. Karena, seingat saya Beijing begitu ramah ketika tujuh tahun lalu saya berkunjung.
Akan tetapi, bukan insiden ledakan ini yang menjadi inti tulisan saya. Pengalaman ini mengingatkan saya pada situasi bagaimana seorang Muslim, terutama Muslimah berjilbab karena terlihat langsung identitasnya, selalu menjadi potensi target kemarahan jika ada kelompok Muslim lain yang terduga dianggap melakukan kekerasan di satu tempat.
Di zaman keterbukaan akses internet ini kemarahan begitu mudah tersebar. Suka tidak suka, Muslim sering dikaitkan dengan tindakan teror. Saya sendiri tahu tuduhan ini tidak adil karena banyak kelompok dan ideologi yang menggunakan teror dalam perjuangannya. Tapi, faktanya ada juga teror yang dilakukan Muslim dan lebih buruk lagi, ketika ini terjadi beritanya diekspos besar-besaran sehingga terlihat seolah Muslim selalu berada di balik banyak aksi teror.
Saya pernah dipukul dengan keras di bagian kepala belakang ketika berada di Paris oleh seorang pria kulit putih tinggi besar yang berjalan cepat ketika kami berpapasan. Padahal, saat itu sedang berjalan dengan teman seorang pria Prancis yang juga kulit putih dan non-Muslim. Teman saya mengejar dan tidak berhasil.
Di Korea, seorang nenek pernah berteriak pada saya, "Muslim... teroris." Lalu, menujukkan jari jempolnya ke bawah. Saya tidak marah karena tahu nenek itu sekadar komplain dengan bahasa yang terbatas. Lalu, saya jelaskan Islam seperti apa dan bagaimana serta bahwa kita sebagai Muslim juga sangat membenci Muslim yang menggunakan jalan kekerasan dan teror.
Tulisan ini sekadar refleksi, bagaimana jalan kekerasan bisa menghambat dakwah di belahan dunia lain. Satu kekerasan saja bisa menjadi langkah mundur dakwah yang dirintis puluhan tahun.
Rasulullah SAW juga memilih jalan askari (militer -red) ketika lawan menggunakan kekuatan militer. Tapi, Rasul dan para sahabat tidak melukai warga sipil yang tidak terlibat langsung dalam konflik. Bahkan, tumbuhan, binatang, dan orang yang beribadah agama lain termasuk yang dilarang Abu Bakar secara tegas untuk disakiti ketika terjadi peperangan.
Jika pun harus menggunakan jalan militer, harus ditujukan pada target yang terpilih, bukan asal-asalan. Itu yang dicontohkan Rasulullah SAW dan sahabat. Jika kita membaca sejarah, setiap kali Rasulullah SAW dan sahabat datang ke suatu daerah memerangi pemerintahan lalim, kehadirannya ditunggu dan dinanti penduduk setempat.
Apa yang terjadi kini terbalik. Penduduk setempat semakin benci dan Muslim di belahan lain jadi korban sasaran balas dendam. Karena itu, pikir lagi, lagi, dan lagi jika kita masih berpendapat bahwa dakwah dengan kekerasan adalah jalan terbaik untuk memajukan Islam.
Jangan sampai, pilihan dakwah kita justru melukai umat Islam, juga bahkan menghambat dakwah di bumi Allah yang lain yang sedang berkembang. Semoga, sebisa mungkin, cinta selalu menjadi semangat untuk membuat dunia melihat betapa Islam Rahmatan lil 'alamiin.
Sumber: ROL (22/8/2015)