Ini Fatwa Rahasia ISIS tentang Budak Seks

Ini Fatwa Rahasia ISIS tentang Budak Seks
Pejuang wanita Kurdi, bersumpah melawan ISIS. (Twitter)
VIVA.co.id - Catatan Perang ISIS yang disita oleh militer Amerika ternyata memuat banyak aturan. Salah satunya adalah mengatur tentang budak perempuan, yang bisa mereka perlakukan sebagai pemuas syahwat.

Fatwa itu disampaikan sebagai  aturan yang mereka berlakukan terhadap  anggota-anggotanya. Untuk menyembunyikan praktik ini, ISIS  mendokumentasikannya dalam "Catatan Perang," dan mengaturnya dalam bagian, "mengatur perbudakan."

Melalui Fatwa No.64, bertanggal 29 Januari 2015, yang dikeluarkan oleh Komite Fatwa ISIS, aturan diterbitkan untuk mengatur dan menyusun relasi seksual antara pejuang ISIS dengan budak perempuan mereka. Fatwa ini melangkah lebih jauh dibanding kesepakatan yang diterbitkan pada tahun 2014, tentang bagaimana mengatur perbudakan.

Fatwa ini diterbitkan dengan kalimat pertanyaan, "beberapa saudara kita melakukan pelanggaran dalam memperlakukan budak perempuan mereka. Pelanggaran ini tak bisa ditoleransi oleh hukum syariah, karena aturan tersebut tak berhubungan dengan usia. Apakah ada peringatan yang berkaitan dengan hal ini?"

Fatwa itu lalu menjabarkan 15 aturan. Beberapa di antaranya disampaikan dengan sangat terinci. Misalnya:
"Jika budak perempuan yang dimiliki memiliki seorang anak perempuan yang sudah bisa berhubungan seksual, maka ia tak diizinkan berhubungan seks dengan keduanya. Jika sudah berhubungan dengan ibunya, maka ia tak boleh berhubungan dengan anaknya. Jika sudah berhubungan dengan anaknya, maka pemilik tak boleh berhubungan dengan ibunya."

Di antara perintah fatwa mengenai budak perempuan tersebut, terdapat larangan antara ayah dan anak laki-lakinya agar tidak berhubungan seks dengan perempuan yang sama. Dan pemilik yang memiliki budak ibu dan anak perempuan, tak boleh berhubungan seks dengan keduanya.

Seorang budak perempuan bisa dimiliki oleh beberapa orang. Ia bisa ditempatkan bergantian, karena status budak tersebut dipandang sebagai "milik bersama."

Seorang peneliti ISIS di Universitas Princeton, Cole Bunzel, yang sering melakukan pengamatan terhadap tulisan-tulisan kelompok tersebut, mengatakan, fatwa itu telah melampaui apa yang sebelumnya pernah dipublikasikan oleh kelompok tersebut  mengenai perlakuan terhadap budak perempuan mereka.

"Itu menunjukkan fokus ISIS adalah pada pemilik budak," kaya Bunzel, Seperti dikutip dari Reuters, Rabu, 30 Desember 2015. Bunzel juga mengatakan, tak semua yang disampaikan dalam fatwa mengindikasikan pelanggaran. Itu bukan berarti seorang ayah dan anak bisa seenaknya berbagi budak. Sebenarnya itu adalah peringatan untuk tidak melakukan hal seperti itu, tapi Bunzel yakin pelanggaran itu pernah terjadi.

Fatwa itu juga menginstruksikan pemilik budak perempuan untuk memperlakukan mereka dengan baik. "Menunjukkan belas kasihan, memperlakukan dengan baik, tidak menghinanya, dan tidak memaksanya saat dia tidak mampu melayani."
Fatwa itu juga meminta pemiik untuk tak menjual budak perempuannya pada orang lain jika mereka tahu, orang tersebut tak akan mampu memperlakukannya dengan baik.

Profesor Abdel Fattah Alawari, dekan Teologi Islam di Universitas Al-Azhar, sebuah pusat belajar Islam yang telah berusia 1.000 tahun,  mengatakan Negara Islam "tidak ada hubungannya dengan Islam." Mereka telah salah menafsirkan ayat yang berusia berabad-abad.  "Ayat yang menyampaikan tentang perbudakan, dirancang untuk mengakhiri, bukan mendorong perbudakan," katanya kepada Reuters.

"Islam mengajarkan kebebasan untuk budak, bukan menganjurkan perbudakan. Perbudakan adalah status quo saat Islam datang," katanya. "Yahudi, Kristen, Yunani, Romawi, dan peradaban Persia semua berlatih dan mengambil perempuan dari musuh-musuh mereka sebagai budak seks. Islam menemukan praktik menjijikkan ini dan bekerja untuk secara bertahap menghapusnya," katanya menegaskan.

PBB dan kelompok aktivis HAM menuduh kelompok ISIS melakukan penculikan dan perkosaan terhadap ratusan perempuan dewasa dan anak-anak. Paling muda di antara mereka berusia 12 tahun. Kebanyakan di antara korban adalah suku Yazidi yang menjadi minoritas di Irak. Sebagian besar diantara mereka diberikan pada pejuang sebagai penghargaan, atau dijual sebagai budak seks.

Dalam sebuah laporan di bulan April, Human Rights Watch mewawancarai 20 pelarian wanita yang menceritakan bagaimana pejuang Negara Islam memisahkan perempuan muda dan anak perempuan dari laki-laki dan anak laki-laki, dan perempuan yang lebih tua. Mereka dipindahkan "dalam cara yang terorganisir dan rapi ke berbagai tempat di Irak dan Suriah." Mereka kemudian dijual atau diberikan sebagai hadiah dan berulang kali diperkosa atau mengalami kekerasan seksual.

Pada September 2014, lebih dari 120 ulama Islam menyampaikan surat terbuka kepada pemimpin ISIS, Abu Bakar al Baghdadi. Ratusan ulama ini menyangkal cara kelompok ISIS menafsirkan ayat untuk membenarkan tindakan mereka. Para ulama menekankan, "mengenalkan kembali perbudakan adalah dilarang dalam Islam."