Minggu, 23 Agustus 2015
IRONI AHOK
Gubernur Ahok menyetujui proyek "giant sea wall", pengurugan Teluk Jakarta untuk jadi kawasan real-estate, seraya getol menggusur warga Kampung Pulo.
Padahal, reklamasi Teluk menyumbang banjir lebih besar bagi Jakarta: tanah pantai makin tinggi, mengurangi aliran ke laut. Sementara itu, kepadatan gedung telah mengurangi resapan air, yang membuat tanah ambles di tengah kota.
Bahkan jika Sungai Ciliwung dipulihkan, pembangunan gedung beton yang tak terkendali plus "giant sea wall" akan benar-benar membuat Jakarta menjadi bendungan raksasa ketika musim hujan tiba.
KAMBING HITAM
Layakkah orang miskin menjadi kambing hitam banjir Jakarta? Betul bahwa rumah di bantaran sungai memperbesar peluang banjir. Tapi, sumbangan banjir terbesar adalah minimnya lahan resapan akibat bangunan beton, lahan parkir, serta jalanan. Di kota padat seperti Jakarta, lebih dari 50% air hujan berlomba masuk selokan dan sungai.
JALAN PINTAS AHOK
Permukiman Kampung Pulo sudah ada sejak 1930, sebelum kemerdekaan. Warga bukannya tak mau pindah, tapi tidak rela disebut pemukim liar; mereka punya dokumen legal. Warga juga bukannya menolak upaya penataan kampung.
Pada 2012, Gubernur Jokowi menerima konsep "kampung susun", penataan kampung yang melibatkan PARTISIPASI WARGA, mirip Kampung Kali Code, Yogya, yang dirancang YB Mangunwijaya.
Tapi, pada 2015, Gubernur Ahok memilih jalan pintas, menggusur ketimbang melakukan dialog yang bermartabat.
*dari wall fb Farid Gaban