Pernyataan Wapres Jusuf Kalla bahwa pihaknya lebih takut jika krisis ekonomi terjadi Cina dari pada yang terjadi pada krisis di Yunani sangat wajar. Sebab, di era pemerintahan Jokowi-JK, ekonomi Indonesia sangat bergantung kepada Cina.
"Jika sebuah negara hanya bisa bergantung kepada negara lain seperti saat ini, apapun yang dilakukan oleh pemerintah sangat mustahil bisa lepas dari rongrongan aseng dan asing," jelas pengamat politik Jajat Nurjaman dalam pernyataannya (Kamis, 9/7).
"Lantas yang menjadi pertanyaan sejauh mana Indonesia berdaulat sebagai negara merdeka jika terus menerus diatur aseng dan asing? Saya kira JK sudah membuktikan hal ini dengan pernyataan beliau. Saat ini memang kita bisa diibaratkan sebagai negara bagian Cina," sindir Jajat.
Jajat menilai, melihat apa yang dilakukan pemerintah saat ini sudah sangat jauh menyimpang dari cita-cita para pendiri bangsa. Padahal sebagai pemimpin yang lahir dari rahim PDIP yang mana ideologi bung Karno menjadi landasannya, seharusnya Jokowi bisa membawa Indonesia tidak hanya bergantung kepada aseng dan asing.
Apalagi, dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi Bung Karno dengan jelas telah disebutkan, tidak mungkin unsur-unsur luar negeri membuat tanah air kita makmur dan sejahtera, gemah ripah kerta rahadja, jikalau bangsa Indonesia sendiri hanya jadi penonton dan penikmat dari hasil yang digali oleh modal orang lain.
"Sepertinya, Jokowi-JK tidak pernah membaca buku dan belajar tentang Soekarno," demikian pengamat yang juga Direktur Eksekutif Nurjaman Center for Indonesian Democracy (NCID) ini.
Kemarin, JK menegaskan Pemerintah tak terlalu mengkhawatirkan krisis yang terjadi di Yunani. Karena gagal bayarnya Yunani membayar utang (default) kepada International Monetary Fund (IMF) tak terlalu berdampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia.
"Greek crisis is nothing compared to Tiongkok. Pasti (krisis Yunani tidak ada pengaruh ke Indonesia). Lebih ke krisis Tiongkok," ujar JK, sembari memperlihatkan artikel CNNMoney, kepada wartawan, di kantornya.[zul] Sumber: www.rmol.co
Baca juga: INVESTASI ATAU "PENJAJAHAN" CHINA?