Rabu, 12 Agustus 2015
Penulis: Alimin Muhammad
Ketua DPW PKS Maluku Utara
Mungkin kini akhirnya engkau bisa tertawa. Melepas penat dan gundah sejak duduki kursi panas dalam sorotan benci menyemeru dari sebagian rakyat negeri ini.
Ini bermula dari putusan menerima kursi yang bikin terpelanting nama besar dan wibawa partai. Pilihan sarat risiko menjadi pemimpin partai Islam yang tengah jadi bulan-bulanan media. Hingga istilah “festivalisasi”pun mengemuka untuk gambarkan betapa media begitu menyoroti noda yang hinggap di tubuh partai yang kadung diharapkan bawa perbedaan dalam fatsun politik.
Memintas dari partai ketika situasi ujian ini amatlah mudah. Dan inilah yang diperbuat oleh beberapa kolega dan pendiri partai. Kapal yang oleng oleh badai cibiran hingga fitnah hanya sisakan selumut harapan. Pemimpin yang sebetul-betulnya berkarakter pemimpinlah yang mampu keluar dari lautan badai dengan membawa penumpang selamat meski dengan hujan airmata.
Lama menjadi orang kedua, sekretaris jenderal, di tubuh partai, mengesankan ia hanya jadi pelapis sang presiden. Banyak awam dan orang di luar partai yang menganggapnya hanya sebatas pengisi jabatan lazim di partai.
Kalaulah sejenak mau bertanya siapa yang berandil dalam banyak putusan partai, nama ia sering tersebut dengan hormat. Walau di media tidak selalu disebutkan andilnya; meski tidak setiap kader partainya mengetahui jejak senyap di balik tiap putusan yang dihasilkan partainya.
Mungkin kadang menyesakkan jiwa hasil ijtihadnya yang memenangi perdebatan syura partai. Kadang pula bikin terpesona banyak kalangan di sekitarnya. Idenya memang besar; jauh lebih besar dari perawakannya.
Lama dalam “kubangan” sebagai orang nomor dua secara formal, badai yang menerpa partai mengharuskan ia tampil. Membawa mimpi yang nyaris mustahil ditempuh ketika banyak mata di negerinya nyaris tidak sisakan prasangka baik pada partainya. Malah yang ada berita soal pribadi seputar pernikahannya dengan perempuan bule dengan segala pernik-perniknya. Sementara beratnya perjuangan mengiringi laju partai dalam badai cibiran, seperti adem tertiup angin semilir.
Mimpinya selalu besar. Cita-citanya tinggi. Harga dirinya begitu terjaga, mungkin karena masih berkait dengan nama besar sukunya yang gigih mengusir penjajah.
Terseok sejenak karena “fatwa kesejahteraan” yang hadirkan pertentangan dari sesama ikhwan. Kiranya putusan untuk terfokus pada pembenahan dalam hitungan tidak kurang 24 purnama, sebuah tindakan yang hadirkan banyak pembelajaran. Pembelajaran yang dilakukan tanpa lagi dengan retorika, sebagaimana biasanya ia berbicara. Semua tugas yang menjadi beban di pundaknya harus ditunaikan dalam kesepian, kesendirian, bahkan tanpa patriotisme kepahlawanan.
Tugas-tugas yang sedemikian berat sudah terlalui. Saat hening menjadi teman lengang undur dari pentas, sungguh ini bukan sebuah kekalahan dari si pemilik ide besar. Ini hanyalah sekadar kesahajaan untuk menerima pergiliran tugas. Inilah saatnya pulang ke habitat asli yang membentuknya sebagai sosok penafsir pahlawan ideal Indonesia. Bukan lagi sosok yang hanya sibuk bicara kompetisi kekuasaan tapi bermain mata dengan pesona dunia.
Inilah saatnya ketika arloji berjuta rupiah harus berganti dengan setumpuk kitab dan ensiklopedia. Inilah masa ketika segenap kekayaan yang dipandang aset, harus diputar untuk sebuah pergerakan citanya selaku pencinta jelajah dunia.
Ya, inilah ketika lengser bukan berarti mati. Bukan untuk berlepas dalam jalan kebaikan; apalagi meninggalkan jejak perjuangan. Justru inilah semoga setapak fase demi hadirkan gelombang yang lebih dahsyat dari yang pernah dikotbahkan.
Pulanglah ke rumah dengan bungah. Syukuri rehat ini buat tafakuri deretan kitab di rak. Anggap saja waktu ke depan hanya satu fase sejenak. Demi kau lahirkan ide yang akan membikin marwah negeri ini kembali tegak.