PKS dan Perang Global Atas Islam Politik


Oleh: Nasarudin Sili Luli*

Kalau kita membaca situasi saat ini yakni sedang berlangsungnya perang global kepada fenomena Islam Politik. Walaupun kita menyaksikan hingar bingar pertarungan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sudah melewati pemilu dan berhasil bertahan namun harus disadari bahwa perang atas islam politik tidak akan selesai melainkan akan terus berlanjut, bahkan mungkin akan lebih keras lagi di masa-masa yang akan datang.

Sampai saat ini perang terhadap fenomena islam politik telah menggantikan isu perang global terhadap terorisme. Jika di awal tahun 2001 ada isu perang global terhadap terorisme, maka di satu dekade berikutnya yakni setelah Arab Springberlangsung, perang atas fenomena islam politik ini mulai dicanangkan.

Dari perspektif sejarah kita ingat bahwa pada tahun 90-an ketika Uni Soviet runtuh. Barat menafsirkan keruntuhan Uni Soviet sebagai kemenangan kapitalisme, liberalisme, dan demokrasi, sehingga banyak buku-buku yang menafsirkan fenomena tersebut sebagai akhir dari pertempuran idiologi. Sala satunya adalah teori Fukuyama tentang tafsir "The End of History". Terlebih lagi terjadi demokratisasi global yang berlangsung di seluruh wilayah bekas Uni Soviet di Eropa Timur, kemudian ke Asia Tengah. Ada sekitar tujuh republik Islam yang keluar dari Uni Soviet pada waktu itu dan sekarang sudah independen. Demikian pula hampir seluruh negara Eropa Timur juga lepas dari Uni Soviet. Kemudian Asia Selatan dan juga Asia Timur secarah umum, serta lebih khusus lagi di Asia Tenggara.

Memahami PKS dan Dunia Luar 

Indonesia mengalami Reformasi di tahun 1998 yang di awali dengan krisis ekonomi tahun 1997. Pada waktu Indonesia mengalami krisis tersebut, Timur Tengah sama sekali tidak tersentuh. Pada tahun 1998 ketika Partai Keadilan (PK) didirikan, Partai Fazilet di Tuki baru saja dibubarkan dan baru pada tahun 2001 AK Parti yang kemudian menang pada tahun 2002 serta berkuasa sampai hari ini.

Bersama dengan fenomena demokratisasi global tersebut, gerakan-gerakan islam juga masuk kedalam sistem politik di seluruh dunia islam. Artinya, Barat juga menyadari bahwa ketika gelombang demokratisasi menyapu seluru kawasan di dunia, termasuk kawasan dunia islam, maka akan ada implikasi yaitu terakomodasinya kekuatan islam kedalam sistem politik nasional.

Banyak analisis yang berkembang di barat pada tahun-tahun tersebut, yang mengatakan bahwah barat tidak perlu khwatir dengan masuknya gerakan islam kedalam sistem demokrasi ini, bahkan Olivier Roy mengatakan, "Beri kesemptan terhadap gerakan islam untuk memimpin, karena mereka tidak punya kapasitas untuk memimpin, sehingga nanti mereka akan gagal dengan sendirinya dan setelah itu jatuh".

Hal demikian juga banyak direkomendasikan oleh pengamat-pengamat gerakan islam seperti ada pembiaran terhadap kondisi di Timur Tengah pada tahun-tahun tersebut. Namun nampaknya AK Parti di Turki dan perubahan besar yang diciptakan telah memprovokasi dunia islam, khususnya Timur Tengah dengan alat provokasi utamanya berupa Al Jazeeraa yang punya pengaruh yang luar biasa sepanjang tahun-tahun tersebut.

Ketika aktivis gerakan Islam mulai masuk ke dunia politik pada era Arab Spiringmaka muncul satu pertanyaan besar di dunia Barat. Terutama ketika pemerintah Qatar mengatakan bahwa dunia harus mulai membiasakan diri terhadap satu fakta baru bahwah Ikhwanul Muslimin telah menjadi kekutan politik di dunia, sehingga Arab Saudi dan rezim-rezim di negara-negara Arab lainya harus mulai beradaptasi dengan fenomena baru ini.

Namun dalam tradisi berpikir orang-orang Barat, khusus orang-orang Amerika ada kebiasaan untuk berfikir futuristic yakni mengantisipasi satu ancaman jangka panjang secara sangat dini. Mereka juga berfikir bahwa sebelum kekuatan ini terkonsolidasi dengan baik maka harus diselesaikan sejak awal karena memang sudah membentuk peta koalisi di dunia islam yakni mulai ada poros Mesir-Turki-Qatar dengan Tunisia, sebagai poros kekuatan baru, (tuan-tuan dari kawasan yang lama) terutama Arab Saudi dan kekuatan Sunni yang terepresentasikan oleh Arab Saudi dan Mesir mulai tereliminir. 

Gerakan kontra Arab Spiring telah menyebabkan peta kekuatan di Timur Tengah berubah secara total, sehingga saat ini peta kekuatan dunia Islam terbagai atas empat poros yakni poros Syi’ah (Iran, Syiria, Hizbullah dan Lebanon). 

Poros Sunni status quo (Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Kuwait ), poros Sunni Ikhwan (Turki, Qatar dan Hamas Palestina), serta poros Israel. Di antara poros-poros tersebut yang paling lemah posisinya adalah Poros Sunni Ikhwan yang tinggal mengandalkan Qatar dan Turki.

Padahal Qatar adalah negeri yang kecil dengan total populasi sekitar 1,4 juta dan Turki sedang disibukkan dengan tekanan-tekanan dari dalam negerinya sendiri.

PKS dan Tantangan

Salah satu pelajaran penting bagi PKS adalah peistiwa yang terjadi di Mesir adalah bahwa kawan-kawan atau mitra koalisi suatu saat bisa berbalik menjadi musuh-musuh di saat yang lain. PKS harus merenungi perjalanan perjuangan politik kita terutama sejak tahun 2008 agar bisa melakukan evaluasi, kita memahami atau mengamati karir politik PKS sangat sulit melompat dari partai menengah ke parati besar karena ada lima lapisan yang membungkus arah gerak partai atau sebagai alat untuk menggembosi PKS sehingga sangat sulit untuk menjadi partai besar.

Lapisan pertama adalah, Kader kader PKS yang kecewa. Dalam proses kaderisasi tidak sampai terbayangkan ada kader PKS yang jadi caleg dari partai lain. Hal ini yang harus di pelajari oleh PKS karena boleh jadi di masa-masa yang akan datang hal tersebut jauh lebih masif.

Isu faksi keadian dan faksi kesejateraan adalah juga sebuah upaya untuk memunculkan barisan kader yang sakit hati atau kecewa yang kemuadian akan mudah dimanfaatkan oleh pihak luar.

Lapisan kedua adalah kalangan islam idiologi yakni gerakan-gerakan juga yang menjadikan islam sebagai idiologinya seperti Hizbut Tahrir dan kelompok Salafi. Sejak tahun 2008 hingga saat ini mereka juga melancarkan kritik yang sangat keras dengan mengatakan PKS telah menyimpang dari ashalah ketika mendeklarasikan diri sebagai partai islam terbuka.

Lapisan ketiga adalah islam kultural seperti NU, Muhammadyah dan ormas-ormas islam lainya. PKS di benturkan dengan Muhammadyah melalui isu pencaplokan aset-aset Muhammadyah berupa masjid dan sekolah. Di NU, PKS dipertentangkan bahwa PKS adalah wahabi.

Lapisan keempat adalah adalah dari kalangan islam permisif yang umumnya tidak menerapkan syariat islam dalam kehidupan mereka sehari-hari. PKS dipertentangkan dengan islam garis keras yang islamnya berbeda dengan islam kebanyakan di Indonesia.

Lapisan kelima adalah kelompok nasinalis sekuler melalui isu bahwa PKS akan menerapkan syariat islam dan mendirikan pemerintahan islam jika berkuasa.

Gempuran terhadap PKS di berbagai lapisan tersebut menyebabkan PKS berada di posisi yang serba salah. Banyak laipsan –lapisan yang berupaya membuat PKS terisolasi ,lalu menjadi musuh bersama ,mengalami stagnasi dalam pertumbuhan dan akhirnya tereliminir dari pentas peta politik nasional.

PKS adalah Partai Pembelajar 

Hal yang perlu dipahami adalah kaderisasi bagaiman memperbaiki komunikasi  PKS dengan lapisan-lapisan masyarakat yang digunakan untuk menggembosi PKS.

Namun memang tidak mudah untuk berkomunikasi dengan semua lapisan dan kubu di masyarakat. PKS harus beajar dari perbedaan cara Mesir dan Tunisia menghadapi politiknya masing-masing. Pengalaman politik di Tunisia yang lebih panjang dibandingkan di Mesir membuat mereka lebih memiliki fleksibelitas sehingga ketika diminta untuk mundur mereka mundur, diminta ada amandemen undang-undang, mereka penuhi. Demikian pulah ketika keterewakilan perempuan di parlemen harus 50 % juga mereka penuhi dan ketika mereka diminta untuk melakukan pemilu ulang, maka di lakukan pemilu ulang.

Intinya hampir semua tuntutan oleh rakyat ataupun competitor dipenuhi oleh pemerintahan Partai Nahdhah yang berkuasa sehingga situasi politik hingga saat ini relatif damai.

Sementara ketika tuntutan yang sama diajukan oleh berbagai kubu kepada presiden Mursi sebelum terjadi kudeta, dihadapi dengan cara yang berbeda yakni hingga mengeluarkan dekrit.

Semua pengalaman politik di masing-masing negara patut PKS mengambil pelajaran dan menjadi bahan bagi pengembangan konsep kerja partai yang harus dimulai dengan pengembangan aspek fikryah kader PKS.[]


*Penulis adalah Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
email: reformis87@gmail.com