By: Nandang Burhanudin
Fase hidup setiap manusia normal, pasti merindu saat cinta beradu di pelaminan. Dua insan mengakhiri resah gelisah, berubah desah anugerah. Khayalan jadi kenyataan. Galau sirna menjadi rona bahagia. Semua berawal dari tekad berani menghadap KUA dan calon mertua. Modal boleh seadanya. Namun surga pahalanya.
Saya beberapa kali memproses pernikahan kaum muda galau. Proses mudah murah penuh berkah. Beberapa malah sempat berkirim kado terima kasih. Plus tentu permintaan, nama anak saya "dikudeta" menjadi anak keturunannya. Uniknya, mereka selalu menjaga silaturahmi di kala susah ataupun mudah.
Namun ada juga yang kini menghadapi prahara. Biasanya, mereka tak siap menghadapi problematika rumah tangga di 3 tahun pertama. Ya, apalagi jika bukan masalah berikut:
1. Komunikasi, karena perbedaan adat dan tradisi.
2. Ekonomi, karena jauh dari kemapanan.
3. Orangtua atau merrua yang masih belum ikhlas, melepas putra putrinya ke "dunia lain".
4. Lahirnya momongan alias debay alias bayi.
Saya sempat mengalami semua itu. Namun berkat izin Allah, ujian di atas tak sempat membuat perahu rumah tangga karam apalagi tenggelam. Setiap kali ada potensi bocorr...bocorr..bocorr.. kami selalu mengambil inisiatif mencari aquaproof cinta.
Di titik ini peran suami alias laki-laki diuji qawwamahnya. Bukan gagah-gagahan, lalu memperlakukan istri sebagai daging mentah yang siap dibarbeque. Maka sebagai kapten, suami menjadi penentu mau dibawa kemana nakhkoda rumah tangga.
Visi menjadi mercusuar setiap aksi. Radar-radar Ilahi harus terus terpasang. Masalah-masalah hingga guncangan ombak gelombang, tak akan pernah mampu membuat karam. Guyuran hujan atau air laut masalah, boleh jadi menghujam tapi tak akan mampu menenggelamkan. Tentu saat penghuni kapal sadar dan bergerak tak kenal lelah, membersihkan air dengan segala keterbatasan.
Bertahan dalam keterbatasan adalah energi yang harus senantiasa terbarukan. Mensinergikan 'masalah menjadi energi' hal yang tak mampu dilakukan banyak pasangan. Istri dan suami sepatutnya mahir mengukur diri, bahwa hanya ego diri yang akan menenggelamkan biduk rumah tangga. Bukan ombak apalagi guyuran air hujan. Mari kembali luruskan sikap, pernikahan itu bukan permainan.