Oleh Teuku Zulkhairi – Seorang blogger Aceh
"Hormatilah orang yang tidak berpuasa" adalah seruan yang sering terdengar menjelang bulan Ramadhan. Bedanya, menjelang ramadha kali ini seruan tersebut ikut didengungkan oleh Bapak Menteri Agama lewat akun Twitternya.
Beberapa alasan yang biasanya selalu dimunculkan, di Amerika atau negara-negara Barat orang Islam yang berpuasa dengan tantangan yang berat akan lebih teruji, karena di saat mereka berpuasa sementara disampingnya orang-orang non muslim sedang makan-minum. Jadi, mereka berpuasa dengan penuh tantangan sehingga banyak pula pahalanya.
Maksud secara tersirat dari seruan dan perbandingan tersebut adalah, tanpa tantangan seperti ini maka orang-orang yang berpuasa di Indonesia dan juga Aceh tidak akan teruji seperti ujian yang mereka terima di Amerika. Pada akhirnya, tujuan besarnya adalah, kultur di negeri yang mayorits Muslim seharusnya disamakan saja dengan kultur di negeri yang minoritas Muslim. Sebab, kita ini hidup dalam dunia yang kosmos.
Logika rusak, menjajah budaya
Di satu sisi, seruan-seruan yang telah muncul setiap tahun ini wajar-wajar saja karena memang umat Islam konsisten berbeda dengan non Muslim di bulan ramadhan, umat Islam berpuasa sementara non muslim ya tidak berpuasa. Sesuatu yang dikhawatirkan tanpa sebab oleh beberapa kalangan.
Namun, kalau kita cermati dari segudang problem bangsa kita sejauh ini, lalu kita kaitkan antara satu dengan yang lain, seruan ini sesungguhnya adalah penjajahan budaya sekaligus merupakan bagian dari rentetan panjang perjalanan bangsa ini menuju titik nadir kerusakan logika dan nalar sehat.
Sebab, bagaimana tidak, kalau yang dimaksudkan adalah menghormati non muslim yang tidak berpuasa, memangnya sejak kapan sudah umat Islam mulai memaksa non muslim untuk berpuasa?
Kalau yang dimaksudkan adalah menghormati orang-orang yang uzur dari berpuasa, seperti sakit, musafir, atau halangan syar'i lainnya, memangnya sejak kapan orang-orang uzur ini sudah tidak dihargai lagi oleh umat Islam yang berpuasa?
Jadi, umat Islam tidak butuh khutbah seorang menteri Agama dan siapapun lainnya untuk menghargai orang lain.
Yang dipraktekkan sebagian umat Islam Indonesia dan umumnya orang Aceh dengan menutup warung makan di pagi-siang hari tidak lain hanyalah upaya untuk menciptakan kondisi ta'wwun 'alal birri wattaqwa, agar terbentuk kultur kebaikan dan saling mendukung untuk berbuat baik, bukan untuk menghalangi orang sakit makan. Bukan untuk mencegah musafir untuk makan. Bukan untuk mencegah non muslim makan. Jangan pura-pura tidak paham, karena warung makan tidak dibuka hanya sampai siang hari.
Musafir mana selama ini yang sudah mengeluh tidak bisa makan ? Orang sakit mana selama ini yang bertambah sakitnya karena warung makan ditutup?
Pada akhirnya, dapat kita simpulkan bahwa seruan-seruan “Hormati orang yang tidak berpuasa” sebenarnya tidak lain adalah upaya untuk menghilangkan sakralitas bulan Ramadhan bagi umat Islam sendiri. Lebih spesifiknya, seruan itu adalah upaya penjajahan budaya, karena mencoba memaksa budaya luar terhadap umat Islam yang memiliki budaya sendiri.
Aceh akan tetap beda insya Allah
Oleh sebab itu, lewat status ini saya hanya bermaksud menyeru umat Islam Indonesia dan bangsa Aceh khususnya untuk terus BERANI BERBEDA!
Kita telah sering berbeda koq dengan daerah atau negara lain. Saat Myanmar mengusir Rohingya, saat Thailand menolak mereka, saat Malaysia juga menolak, Aceh justru berbeda, Aceh menerima mereka walau ada juga satu dua yang menolak di tengah hampir semua masyarakat Aceh menerima. Kaidah fiqh mengatakan, "jarang itu seperti tiada, tiada itu tidak tidak dii'tibar(tidak perlu dianggap kehadirannya)".
Di Level nasional, Kita juga dianggap berbeda, saat Panglima TNI kita melarang TNI Wanita gunakan Jilbab di Provinsi lain, di Aceh justru diperbolehkan, dan yang tetap ingin memakai Jelbab diminta pindah aja ke Aceh.
Kita juga berbeda, saat di Jakarta Ahok mau legalkan minuman keras, pemerintah kita di Banda Aceh justru mencambuk orang-orang yang minum-minuman keras, karena minuman keras bisa merusak otak si peminumnya sehingga akan menghancurkan kehidupan pribadiny dan juga keluarganya.
Oleh sebab itu, jangan takut, mari terus berbeda. Dan, semoga umat Islam lainnya di Indonesia juga berani berbeda!
*Sumber: http://www.teukuzulkhairi.com/2015/06/seruan-hormati-orang-yang-tidak.html
"Hormatilah orang yang tidak berpuasa" adalah seruan yang sering terdengar menjelang bulan Ramadhan. Bedanya, menjelang ramadha kali ini seruan tersebut ikut didengungkan oleh Bapak Menteri Agama lewat akun Twitternya.
Beberapa alasan yang biasanya selalu dimunculkan, di Amerika atau negara-negara Barat orang Islam yang berpuasa dengan tantangan yang berat akan lebih teruji, karena di saat mereka berpuasa sementara disampingnya orang-orang non muslim sedang makan-minum. Jadi, mereka berpuasa dengan penuh tantangan sehingga banyak pula pahalanya.
Maksud secara tersirat dari seruan dan perbandingan tersebut adalah, tanpa tantangan seperti ini maka orang-orang yang berpuasa di Indonesia dan juga Aceh tidak akan teruji seperti ujian yang mereka terima di Amerika. Pada akhirnya, tujuan besarnya adalah, kultur di negeri yang mayorits Muslim seharusnya disamakan saja dengan kultur di negeri yang minoritas Muslim. Sebab, kita ini hidup dalam dunia yang kosmos.
Logika rusak, menjajah budaya
Di satu sisi, seruan-seruan yang telah muncul setiap tahun ini wajar-wajar saja karena memang umat Islam konsisten berbeda dengan non Muslim di bulan ramadhan, umat Islam berpuasa sementara non muslim ya tidak berpuasa. Sesuatu yang dikhawatirkan tanpa sebab oleh beberapa kalangan.
Namun, kalau kita cermati dari segudang problem bangsa kita sejauh ini, lalu kita kaitkan antara satu dengan yang lain, seruan ini sesungguhnya adalah penjajahan budaya sekaligus merupakan bagian dari rentetan panjang perjalanan bangsa ini menuju titik nadir kerusakan logika dan nalar sehat.
Sebab, bagaimana tidak, kalau yang dimaksudkan adalah menghormati non muslim yang tidak berpuasa, memangnya sejak kapan sudah umat Islam mulai memaksa non muslim untuk berpuasa?
Kalau yang dimaksudkan adalah menghormati orang-orang yang uzur dari berpuasa, seperti sakit, musafir, atau halangan syar'i lainnya, memangnya sejak kapan orang-orang uzur ini sudah tidak dihargai lagi oleh umat Islam yang berpuasa?
Jadi, umat Islam tidak butuh khutbah seorang menteri Agama dan siapapun lainnya untuk menghargai orang lain.
Yang dipraktekkan sebagian umat Islam Indonesia dan umumnya orang Aceh dengan menutup warung makan di pagi-siang hari tidak lain hanyalah upaya untuk menciptakan kondisi ta'wwun 'alal birri wattaqwa, agar terbentuk kultur kebaikan dan saling mendukung untuk berbuat baik, bukan untuk menghalangi orang sakit makan. Bukan untuk mencegah musafir untuk makan. Bukan untuk mencegah non muslim makan. Jangan pura-pura tidak paham, karena warung makan tidak dibuka hanya sampai siang hari.
Musafir mana selama ini yang sudah mengeluh tidak bisa makan ? Orang sakit mana selama ini yang bertambah sakitnya karena warung makan ditutup?
Pada akhirnya, dapat kita simpulkan bahwa seruan-seruan “Hormati orang yang tidak berpuasa” sebenarnya tidak lain adalah upaya untuk menghilangkan sakralitas bulan Ramadhan bagi umat Islam sendiri. Lebih spesifiknya, seruan itu adalah upaya penjajahan budaya, karena mencoba memaksa budaya luar terhadap umat Islam yang memiliki budaya sendiri.
Aceh akan tetap beda insya Allah
Oleh sebab itu, lewat status ini saya hanya bermaksud menyeru umat Islam Indonesia dan bangsa Aceh khususnya untuk terus BERANI BERBEDA!
Kita telah sering berbeda koq dengan daerah atau negara lain. Saat Myanmar mengusir Rohingya, saat Thailand menolak mereka, saat Malaysia juga menolak, Aceh justru berbeda, Aceh menerima mereka walau ada juga satu dua yang menolak di tengah hampir semua masyarakat Aceh menerima. Kaidah fiqh mengatakan, "jarang itu seperti tiada, tiada itu tidak tidak dii'tibar(tidak perlu dianggap kehadirannya)".
Di Level nasional, Kita juga dianggap berbeda, saat Panglima TNI kita melarang TNI Wanita gunakan Jilbab di Provinsi lain, di Aceh justru diperbolehkan, dan yang tetap ingin memakai Jelbab diminta pindah aja ke Aceh.
Kita juga berbeda, saat di Jakarta Ahok mau legalkan minuman keras, pemerintah kita di Banda Aceh justru mencambuk orang-orang yang minum-minuman keras, karena minuman keras bisa merusak otak si peminumnya sehingga akan menghancurkan kehidupan pribadiny dan juga keluarganya.
Oleh sebab itu, jangan takut, mari terus berbeda. Dan, semoga umat Islam lainnya di Indonesia juga berani berbeda!
*Sumber: http://www.teukuzulkhairi.com/2015/06/seruan-hormati-orang-yang-tidak.html