Kamis, 24 September 2015
Ustadz M Ihsan Abdul Djalil
Melihat hajar aswad dari jarak sangat dekat, dan menyaksikan semua yang berthawaf selalu memulainya dari sana, mungkin memunculkan pertanyaan. Mengapa start thawaf dari sudut kakbah yang itu, dan bukan dari sudut yang lain? Bukankah kakbah memiliki empat sudut?
Kalau pertanyaan itu ditujukan kepada saya, maka jawabnya sederhana, "Karena begitulah Rasulullah dulu memerintahkan dan mencontohkannya". Dan tata cara ibadah haji kita memang harus meniru apa yang dilakukan Rasulullah, sesuai sabda beliau, "Khudz 'anni manasikakum... ambillah dariku manasik (tata cara) ibadah haji kalian. [HR. Al-Baihaqi]
Ibadah haji telah mengajarkan kita untuk memberikan kepatuhan total kepada Allah dan Rasul-Nya. Apa saja yang diperintahkan Allah dan dicontohkan Rasulullah, kita tinggal melaksanakannya tanpa berat hati, tanpa syarat, tanpa alasan, dan juga tanpa banyak pertanyaan.
Thawaf harus mengelilingi kakbah 7 putaran, kita pun melakukannya persis 7 putaran. Sai itu jalannya dimulai dari bukit Shawa menuju bukit Marwah, sebanyak tujuh kali, kita pun melakukannya persis sama. Tidak dibalik, misalnya start dari Marwah menuju Shafa. Begitu juga wuquf di Arafah, mabit di Muzdalilah dan Mina, melontar jumrah, dan semua manasik haji lainnya. Semua mengikuti yang diperintahkan Rasulullah.
Bahkan, hanya karena Rasulullah pernah mencium hajar aswad, maka Umar bin Khathab pun menirunya, dan kita juga disunnahkan menciumnya jika memungkinkan. Padahal itu hanyalah sebongkah batu yang tidak bisa memberi manfaat barang sedikitpun.
Berkaya Umar bin Khathab, "Sungguh, aku tahu, engkau hanya sebongkah batu hitam, yang tidak bisa mendatangkan manfaat atau madharat. Andai saja aku tidak melihat Rasulullah menciummu, pasti aku tidak akan sudi menciummu".
Belajar dari manasik haji, sikap kepatuhan dan kepasrahan total kepada semua ketentuan Allah dan Rasul-Nya seperti inilah yang mestinya dimiliki oleh setiap kaum muslimin. Dan itulah yang diperintahkan oleh Allah kepada kita.
Allah SWT berfirman, "Wa maa aatakum ar-rasulu fakhudhuhu wa maa nahakum 'anhu fantahu".
(Apa saja yang Rasul perintahkan kepada kalian, terimalah; dan apa saja yang ia larang atas kalian, tinggalkanlah). [QS. Al-Hasyr, 59: 7]
Maka sungguh sangat disayangkan jika melihat kaum muslimin saat ini begitu meremehkan hukum-hukum dari Allah, dan lebih memilih menerapkan hukum jahiliyah, buatan manusia, yang jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan Allah.
Syariat Islam hanya dipakai dalam ritual ibadah mahdhah, seperti shalat, puasa, zakat, haji. Selain itu juga diterapkan secara opsional untuk urusan nikah, talak, rujuk, waris, dan sejenisnya. Selebihnya, dalam soal ekonomi, tatanan sosial, hukum dan peradilan, pemerintahan, kita lebih memilih mencampakkan aturan yang datang dari Al-Khaliq, padahal hukum-hukum tentang itu jelas dimuat dalam Alquran dan sunnah.
Bukankah Allah melarang kita pilah pilih hukum mana yang disukai dan diterapkan, dengan mengimani hanya sebagian Alquran dan mengkufuri sebagiannya? Afatukminuna bi ba'dhil kitab wa takfuruna bi ba'dh?
AFAHUKMAL JAHILIYYATI YABGHUUN?