Senin, 28 September 2015
Oleh Abrar Rifai*
Bismillahirrahmanirrahim
Satu di antara kebiasaan saya ketika ingin menyikapi sesuatu atau sedang ingin menjatuhkan satu pilihan, adalah dengan membuka halaman mushaf seacara acak. Istikharah Qur`an, demikian sebagian teman memberi istilah. Biasanya hal seperti ini dilakukan oleh para hafizhah saat ingin menentukan pilihan lelaki yang akan menikahinya. Ayo, para hafizhah, ngaku...
Pagi ini pun, sebelum saya memulai tulisan ini, saya membuka mushaf, yang saya dapati adalah halaman 363 pada surat Al Furqan, ayat 33: “Wa laa ya`tunaka bi matsalin illa ji`naaka bilhaqqi wa ahsana tafshiran = Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu membawa sesuatu yang ganjil, melainkan kami juga akan mendatangimu dengan kebenaran dan sebaik-baik penjelasan.”
Setelah status saya yang mengkoreksi Asma Nadia beredar dan dibagi beberapa orang (Baca:Imajinasi Asma Nadia), sepertinya Mbak Asma bereaksi. Tidak secara langsung dengan saya. Karena saya memang tidak berteman dengan beliau di Facebook dan di Twitter, beliau juga buka followersaya. Namun saya mendapatinya pada diskusi atau perdebatan Asma Nadia dengan pengguna twitter dan Isa Alamsyah (suami Asma Nadia -red) dengan pengguna Facebook. Walau memang bantahan dan debat tersebut tidak secara khusus tentang tulisan saya, sebab yang mengkrtik tulisan Mbak Asma bukan hanya saya.
Baiklah, sekarang saya akan lanjut bicara. Yang pertama, bahwa sebagai penulis produktif, Mbak Asma adalah aset Islam di Indonesia. Sumbangsihnya kepada literasi Indonesia sungguh luar biasa. Kita tidak bisa menafikan itu. Bahwa semua orang yang mengkritik beliau tidaklah berkarya sebanyak beliau, itu kenyataan. Artinya, kalau pun Asma Nadia menulis satu dua kesalahan dan keburukan, tetap tidak sebanding dengan kebenaran dan kebaikan yang telah ditulisnya.
Tapi, bagaimana pun juga, kesalahan tidak bisa dibiarkan, sebab ada banyak kebenaran yang kemudian hilang hanya karena satu kesalahan. Dalam Islam kita mengenal terminologi su`ul khatimah. Yaitu, seseorang yang sepanjang hidupnya melakukan kebaikan dan kebenaran, namun sesaat sebelum meninggal Dunia, ia melakukan kejahatan yang menghapus semua kebaikannya. Dan celakanya, itulah yang menjadi penentu dirinya di hadapan Tuhan. Na’udzu bilLah!
Yang ke dua, saya pribadi sangat menghormati Asma Nadia, makanya pada kritikan saya kemaren, saya lebih banyak menggunakan kata ‘Mbak’ daripada menyebut namanya langsung. Saya mencintai Mbak Asma sebagaimana saya mencintai kakaknya. Dengan ibu beliau, saya juga memposisikan sebagai anak, makanya setiap kali ketemu atau kontak Mbak Helvy, saya selalu titip salam untuk Mami. Ain, anak saya pun menjadikan Bunda Helvy dan Bunda Asma sebagai penulis favoritnya.
Jadi kalau pun saya mengoreksi Mbak Asma, percayalah bahwa itu tak keluar dari kerangka cinta. Karena saya peduli, maka saya bicara. Karena saya menganggap Mbak Asma begitu berharga, maka saya ingin tetap menjaga harga itu. Karena Mbak Asma adalah aset Islam, maka saya tidak ingin aset itu diakuisisi oleh selain Islam. Atau tetap diposisikan pada seolah-olah Islam, namun diperalat oleh pembenci Islam. Sadar atau tidak sadar. Jujur harus saya akui, bahwa mengkritik Presiden Jokowi jauh lebih mudah saya lakukan daripada mengkritik Asma Nadia. Sebab saya tidak hanya menjaga perasaan Mbak Asma, tapi juga terkait dengan hati beberapa orang yang saya anggap dekat. Tapi, pengetahuan harus disampaikan, walau itu pahit. Bukankah kritikan dan teguran itu adalah wujud cinta yang sebenarnya?
Mbak Asma rupanya lebih fokus, bahwasanya beliau melalui tulisannya ‘Karpet Merah Perenggut Nyawa’ dituduh atau kalau bahasa beliau, difitnah Syiah. Entahlah kalau mungkin ada yang telah menuduh atau menyebut Mbak Asma Syiah hanya karena tulisan tersebut. Tapi, untuk tulisan saya sendiri, saya sama sekali tidak menyebut demikian. Saya tegaskan di sini, walau ada sikap dan pendapat Mbak Asma yang serupa dengan penganut Syiah, termasuk juga perkawanan beliau denganHaidar Bagir Al Habsyi, yang menurut beliau dicintainya karena Allah, namun saya tetap meyakini Asma Nadia bukanlah syiah! Karena ketika saya berteman dengan penganut Kristen, tidak serta merta saya juga berkeyakinan sama dengannya. Atau ketika Mbak Asma sedang terjebak di jalan yang sama dengan rombongan iring-iringan penganten, kita tentu tidak bisa serta-merta menyebut beliau bagian dari rombongan tersebut.
Satu lagi bukti bahwa Mbak Asma bukanlah Syiah, pada Pilpres yang lalu saya dapati semua Syiah yang saya kenal memilih Jokowi, sedang Mbak Asma memilih Prabowo. Begitu juga, sampai sejauh ini, baik secara verbal atau pun tulisan, saya tidak mendapati dari Mbak Asma ungkapan ungkapan yang akrab dari orang-orang Syiah. Seperti: Syiah adalah madzhab Ahlul Bait, krtikan atau cacian kepada khalafaurrasyidin selain Sayyidina Ali, ukhuwah Sunni-Syi’i dan lain sebagainya.
Tapi, bahwa pada tulisan ‘Karpet Merah Perenggut Nyawa’ itu Mbak Asma mempunyai kesamaan sikap dengan para pejabat Iran, itu realitanya. Di Twitter saya baca, Mbak Asma menyebut bahwa di tulisan itu beliau telah menyertakan bantahan pemerintah Saudi, padahal sampai tulisan itu dimuat di Republika, belum ada bantahan apapun dari pihak KSA terhadap tuduhan konvoi Pangeran Muhammad Bin Salman yang disebut sebagai penyebab kemacetan sehingga terjadi kecelakaan mengenaskan tersebut. Mas Isa Alamsyah di facebook tetap membantah bahwa berita tersebut bukan hoax. Hanya karena telah dilansir dan dikutip media Nasional, termasuk Republika. Jadi, sekali lagi saya ingin menegaskan, bahwa berita itu hanya berasal dari media media Syiah: satuislam,arrahmahnews dsb, yang dikutip dari presstv Iran.
Mbak Asma menyertakan contoh dirinya sendiri yang pernah terjepit karena thawaf yang berhenti mendadak, disebabkan adanya pintu Ka’bah yang terbuka disertai kehadiran pejabat kerajaan. Ditambah lagi contoh adanya kecelakaan beruntun di jalan tol, karena iring-iringan mobil VVIP. Jadi, walau menurut Mas Isa Alamsyah dan Mbak Asma tulisan itu dimaksudkan sebagai masukan dan kritikan untuk Pemerintah Saudi untuk melakukan evaluasi penuh terhadap rangkaian ibadah haji, tapi tulisan Mbak Asma tetap lebih dominan akan pesan perihal bahwa penyebab tragedi itu adalah karena adanya rombongan iring-iringan Pangeran Muhammad.
Terlebih pada paragraf sebelumnya, Mbak Asma menulis: “Awalnya, saya hanya menduga alasan sederhana. Mungkin ada jamaah yang tali sepatunya lepas, lalu terjatuh dan jamaah di belakangnya tersandung, hingga terjadi saling dorong dan memakan korban. Atau mungkin beberapa jamaah pingsan, bahkan wafat di barisan depan hingga jamaah lain tertahan. Begitu seterusnya seperti efek domino hingga memakan korban. Akan tetapi, beberapa media melansir meninggalnya lebih dari 700 orang jamaah haji di Mina kali ini dipicu iring-iringan pengamanan seorang pejabat kerajaan yang menghambat jalan. Berita tersebut sudah dibantah pemerintah setempat karena mereka juga mempunyai standar pengamanan yang tidak akan mengganggu jamaah haji.”
Tulisan Mbak Asma pun ditutup dengan contoh Rasulullah saw dan Umar ra sebagai dua pemimpin sederhana. Pesannya jelas, bahwa Kerajaan Saudi, jika ingin memimpin atau melayani Jamaah Haji, tirulah dua pempimpin itu. Kalau mau haji, haji saja. Tidak usah pakai pengamanan, konvoi dan iring-iringan. Kalau mau ke Ka’bah, datang saja, tidak usah ada prioritas sehingga mengganggu jamaah yang lain. Karena itu yang dianggap Mbak Asma sebagai penyebab kecekaan. Jadi di sinilah saya menyebut tulisan Mbak Asma itu kebetulan sama dengan propaganda Iran, Syiah dan berbagai pendukungnya. Terlepas dari keyakinan saya pribadi bahwa Mbak Asma bukanlah Syiah.
Demikian, wallahu a’lam.
*dari fb Abrar Rifai (28/9/2015)
Bismillahirrahmanirrahim
Satu di antara kebiasaan saya ketika ingin menyikapi sesuatu atau sedang ingin menjatuhkan satu pilihan, adalah dengan membuka halaman mushaf seacara acak. Istikharah Qur`an, demikian sebagian teman memberi istilah. Biasanya hal seperti ini dilakukan oleh para hafizhah saat ingin menentukan pilihan lelaki yang akan menikahinya. Ayo, para hafizhah, ngaku...
Pagi ini pun, sebelum saya memulai tulisan ini, saya membuka mushaf, yang saya dapati adalah halaman 363 pada surat Al Furqan, ayat 33: “Wa laa ya`tunaka bi matsalin illa ji`naaka bilhaqqi wa ahsana tafshiran = Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu membawa sesuatu yang ganjil, melainkan kami juga akan mendatangimu dengan kebenaran dan sebaik-baik penjelasan.”
Setelah status saya yang mengkoreksi Asma Nadia beredar dan dibagi beberapa orang (Baca:Imajinasi Asma Nadia), sepertinya Mbak Asma bereaksi. Tidak secara langsung dengan saya. Karena saya memang tidak berteman dengan beliau di Facebook dan di Twitter, beliau juga buka followersaya. Namun saya mendapatinya pada diskusi atau perdebatan Asma Nadia dengan pengguna twitter dan Isa Alamsyah (suami Asma Nadia -red) dengan pengguna Facebook. Walau memang bantahan dan debat tersebut tidak secara khusus tentang tulisan saya, sebab yang mengkrtik tulisan Mbak Asma bukan hanya saya.
Baiklah, sekarang saya akan lanjut bicara. Yang pertama, bahwa sebagai penulis produktif, Mbak Asma adalah aset Islam di Indonesia. Sumbangsihnya kepada literasi Indonesia sungguh luar biasa. Kita tidak bisa menafikan itu. Bahwa semua orang yang mengkritik beliau tidaklah berkarya sebanyak beliau, itu kenyataan. Artinya, kalau pun Asma Nadia menulis satu dua kesalahan dan keburukan, tetap tidak sebanding dengan kebenaran dan kebaikan yang telah ditulisnya.
Tapi, bagaimana pun juga, kesalahan tidak bisa dibiarkan, sebab ada banyak kebenaran yang kemudian hilang hanya karena satu kesalahan. Dalam Islam kita mengenal terminologi su`ul khatimah. Yaitu, seseorang yang sepanjang hidupnya melakukan kebaikan dan kebenaran, namun sesaat sebelum meninggal Dunia, ia melakukan kejahatan yang menghapus semua kebaikannya. Dan celakanya, itulah yang menjadi penentu dirinya di hadapan Tuhan. Na’udzu bilLah!
Yang ke dua, saya pribadi sangat menghormati Asma Nadia, makanya pada kritikan saya kemaren, saya lebih banyak menggunakan kata ‘Mbak’ daripada menyebut namanya langsung. Saya mencintai Mbak Asma sebagaimana saya mencintai kakaknya. Dengan ibu beliau, saya juga memposisikan sebagai anak, makanya setiap kali ketemu atau kontak Mbak Helvy, saya selalu titip salam untuk Mami. Ain, anak saya pun menjadikan Bunda Helvy dan Bunda Asma sebagai penulis favoritnya.
Jadi kalau pun saya mengoreksi Mbak Asma, percayalah bahwa itu tak keluar dari kerangka cinta. Karena saya peduli, maka saya bicara. Karena saya menganggap Mbak Asma begitu berharga, maka saya ingin tetap menjaga harga itu. Karena Mbak Asma adalah aset Islam, maka saya tidak ingin aset itu diakuisisi oleh selain Islam. Atau tetap diposisikan pada seolah-olah Islam, namun diperalat oleh pembenci Islam. Sadar atau tidak sadar. Jujur harus saya akui, bahwa mengkritik Presiden Jokowi jauh lebih mudah saya lakukan daripada mengkritik Asma Nadia. Sebab saya tidak hanya menjaga perasaan Mbak Asma, tapi juga terkait dengan hati beberapa orang yang saya anggap dekat. Tapi, pengetahuan harus disampaikan, walau itu pahit. Bukankah kritikan dan teguran itu adalah wujud cinta yang sebenarnya?
Mbak Asma rupanya lebih fokus, bahwasanya beliau melalui tulisannya ‘Karpet Merah Perenggut Nyawa’ dituduh atau kalau bahasa beliau, difitnah Syiah. Entahlah kalau mungkin ada yang telah menuduh atau menyebut Mbak Asma Syiah hanya karena tulisan tersebut. Tapi, untuk tulisan saya sendiri, saya sama sekali tidak menyebut demikian. Saya tegaskan di sini, walau ada sikap dan pendapat Mbak Asma yang serupa dengan penganut Syiah, termasuk juga perkawanan beliau denganHaidar Bagir Al Habsyi, yang menurut beliau dicintainya karena Allah, namun saya tetap meyakini Asma Nadia bukanlah syiah! Karena ketika saya berteman dengan penganut Kristen, tidak serta merta saya juga berkeyakinan sama dengannya. Atau ketika Mbak Asma sedang terjebak di jalan yang sama dengan rombongan iring-iringan penganten, kita tentu tidak bisa serta-merta menyebut beliau bagian dari rombongan tersebut.
Satu lagi bukti bahwa Mbak Asma bukanlah Syiah, pada Pilpres yang lalu saya dapati semua Syiah yang saya kenal memilih Jokowi, sedang Mbak Asma memilih Prabowo. Begitu juga, sampai sejauh ini, baik secara verbal atau pun tulisan, saya tidak mendapati dari Mbak Asma ungkapan ungkapan yang akrab dari orang-orang Syiah. Seperti: Syiah adalah madzhab Ahlul Bait, krtikan atau cacian kepada khalafaurrasyidin selain Sayyidina Ali, ukhuwah Sunni-Syi’i dan lain sebagainya.
Tapi, bahwa pada tulisan ‘Karpet Merah Perenggut Nyawa’ itu Mbak Asma mempunyai kesamaan sikap dengan para pejabat Iran, itu realitanya. Di Twitter saya baca, Mbak Asma menyebut bahwa di tulisan itu beliau telah menyertakan bantahan pemerintah Saudi, padahal sampai tulisan itu dimuat di Republika, belum ada bantahan apapun dari pihak KSA terhadap tuduhan konvoi Pangeran Muhammad Bin Salman yang disebut sebagai penyebab kemacetan sehingga terjadi kecelakaan mengenaskan tersebut. Mas Isa Alamsyah di facebook tetap membantah bahwa berita tersebut bukan hoax. Hanya karena telah dilansir dan dikutip media Nasional, termasuk Republika. Jadi, sekali lagi saya ingin menegaskan, bahwa berita itu hanya berasal dari media media Syiah: satuislam,arrahmahnews dsb, yang dikutip dari presstv Iran.
Mbak Asma menyertakan contoh dirinya sendiri yang pernah terjepit karena thawaf yang berhenti mendadak, disebabkan adanya pintu Ka’bah yang terbuka disertai kehadiran pejabat kerajaan. Ditambah lagi contoh adanya kecelakaan beruntun di jalan tol, karena iring-iringan mobil VVIP. Jadi, walau menurut Mas Isa Alamsyah dan Mbak Asma tulisan itu dimaksudkan sebagai masukan dan kritikan untuk Pemerintah Saudi untuk melakukan evaluasi penuh terhadap rangkaian ibadah haji, tapi tulisan Mbak Asma tetap lebih dominan akan pesan perihal bahwa penyebab tragedi itu adalah karena adanya rombongan iring-iringan Pangeran Muhammad.
Terlebih pada paragraf sebelumnya, Mbak Asma menulis: “Awalnya, saya hanya menduga alasan sederhana. Mungkin ada jamaah yang tali sepatunya lepas, lalu terjatuh dan jamaah di belakangnya tersandung, hingga terjadi saling dorong dan memakan korban. Atau mungkin beberapa jamaah pingsan, bahkan wafat di barisan depan hingga jamaah lain tertahan. Begitu seterusnya seperti efek domino hingga memakan korban. Akan tetapi, beberapa media melansir meninggalnya lebih dari 700 orang jamaah haji di Mina kali ini dipicu iring-iringan pengamanan seorang pejabat kerajaan yang menghambat jalan. Berita tersebut sudah dibantah pemerintah setempat karena mereka juga mempunyai standar pengamanan yang tidak akan mengganggu jamaah haji.”
Tulisan Mbak Asma pun ditutup dengan contoh Rasulullah saw dan Umar ra sebagai dua pemimpin sederhana. Pesannya jelas, bahwa Kerajaan Saudi, jika ingin memimpin atau melayani Jamaah Haji, tirulah dua pempimpin itu. Kalau mau haji, haji saja. Tidak usah pakai pengamanan, konvoi dan iring-iringan. Kalau mau ke Ka’bah, datang saja, tidak usah ada prioritas sehingga mengganggu jamaah yang lain. Karena itu yang dianggap Mbak Asma sebagai penyebab kecekaan. Jadi di sinilah saya menyebut tulisan Mbak Asma itu kebetulan sama dengan propaganda Iran, Syiah dan berbagai pendukungnya. Terlepas dari keyakinan saya pribadi bahwa Mbak Asma bukanlah Syiah.
Demikian, wallahu a’lam.
*dari fb Abrar Rifai (28/9/2015)