Ustadz Muhammad Arifin Ilham menikah dengan istri pertamanya pada tahun 1998. Ialah seorang wanita shalehah yang dipertemukan oleh Allah Ta’ala saat beliau mengisi pengajian. Beberapa masa setelahnya, beliau melihat wanita tersebut dalam mimpinya. Kemudian, beliau melakukan shalat Istikharah, meminta restu orang tua, dan keduanya pun menikah. Insya Allah berkah meliputi pernikahannya.
Dua belas tahun setelahnya, tepatnya pada tahun 2010, dai yang masyhur dengan dzikir penyejuk hatinya ini menikah untuk kedua kali. Poligami. Sang istri kedua yang beliau sebut sebagai ‘Bidadari ‘Aisyah’ ini merupakan salah satu jamaah dzikirnya. Hampir sama dengan pernikahan pertama, beliau melihat gadis yang nampak berdarah Arab ini dalam mimpi beliau.
Sebagian kita, mungkin belum tahu bagaimana detail poligami sang dai kelahiran Banjarmasin ini. Apalagi, beliau tak banyak diliput oleh media dalam acara berbalut gossip yang mengotori hati. Lantas, bagaimana kisah ini secara detail? Mudah-mudahan tulisan ini memberikan manfaat bagi kaum Muslimin.
Pertama, luruskan niat karena Allah Ta’ala dan meneladani sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Beliau mengisahkan, tidak ada wanita yang mau dimadu. Maka, beliau hanya memohon kepada Allah Ta’ala. Pasalnya, hampir semua kehidupan sunnah sudah beliau jalani. Mulai Tahajjud setiap malam, shalat Subuh berjamaah di masjid, menjaga wudhu, dan sebagainya. Nah, tutur beliau seraya menggoda jamaah, “nah, ta’addud(poligami) ini yang belum pernah.”
“Arifin ingin memiliki istri seperti istri-istri Nabi. Bagaimana mengaturnya, mendidiknya, dan sebagainya,” lanjutnya mengisahkan.
Benar saja, sekarang setiap malam Jum’at, dai yang pernah koma selama dua puluh satu hari lantaran bisa ular ini mengumpulkan kedua istrinya untuk memperdalam ilmu agama. Bersama-sama.
Kedua, pertimbangkan saran kiyai, ustadz, guru, dan orang terdekat
Ketika niat poligami itu diutarakan kepada guru, ustadz, dan kiyai serta orang-orang terdekatnya, ada di antara mereka yang sampaikan nasihat, “Arifin jangan poligami. Nanti jamaah kabur. Nanti dakwahnya dibenci.” Dan kalimat-kalimat lain sebagaimana dialami oleh dai lain yang menjadi korban media penebar gosip dan fitnah.
Kepada mereka yang menyampaikan itu, dai yang semasa kecilnya pernah kabur dari rumah lantaran tidak dibelikan motor balap ini menukasi dengan tegas, “Itu kalimat syirik dari mulut orang yang beriman. Allah-lah yang memuliakan dan menghinakan manusia. Bukan lantaran poligami atau tidak.”
“Lah yang gak nikah dihinakan juga banyak kok…,” seloroh beliau sebagaimana ditayangkan di sebuah acara televisi.
Ketiga, cara yang amat baik (ahsan)
Setelah membulatkan niat karena Allah Ta’ala dan Rasulullah, beliau melakukan shalat Istikharah. Maka untuk semakin memantapkan niatnya, beliau pun bermusyawarah. Bukan hal yang mudah, karena beliau meminta izin kepada kedua orang tua, istri pertama, dan kedua mertuanya.
Izin kepada orang tua kandung itu baru didapatkan setelah tiga bulan. Beliau memberikan pemahaman, rayuan, dan juga alasan yang logis sebab sunnah (termasuk poligami) memang sangat logis dan tidak bertentangan dengan logika sehat mana pun.
Begitupun izin yang beliau sampaikan kepada istri dan mertuanya. Qadarullah, lantaran niat yang benar, mereka semua mengizinkan. Hingga pernikahan berkah itu dilangsungkan pada tahun 2010.
Kehidupan Poligami
Pertanyaan berikutnya, bagaimana menjalani kehidupan poligami? Apakah ada masalah? Bagaimana menyikapi persoalan yang timbul? Pembagian nafkah? Bisakah berlaku adil?
Pertama, masalah sudah pasti ada. Tetapi, tutur pendakwah yang kini menetap di Sentul Jawa Barat ini, “Jika disikapi dengan bijak, masalah bisa semakin membuat kita saling mencintai.” Memang, masalah tidak bisa dihindari. Apalagi, jika boleh dikatakan, keseluruhan hidup adalah masalah yang bisa meninggikan atau merendahkan derajat manusia di sisi Allah Ta’ala, tergantung bagaimana menyikapinya.
Kedua, tidak ada yang bisa adil. Beliau mengatakan, “Rasulullah pun tidak bisa berlaku adil terkait perasaan kepada istri-istrinya.” Maka, lanjutnya, “Beliau selalu berdoa, ‘Ya Allah, inilah yang bisa kulakukan. Sesungguhnya keadilan sejati hanyalah milik-Mu’ setiap hendak menggilir istri-istrinya.”
Terkait hal ini, Ina (panggilan istri kedua ustadz Arifin) mengatakan, “Semuanya kembali kepada keimanan kita. Apalagi terkait giliran. Selama kita (istri-istrinya) ridha, insya Allah tidak masalah.”
Pasalnya, kedua istrinya ini suka menghadiahkan giliran kepada yang lainnya. Jika tiba giliran istri pertama, sosok dengan panggilan Yuni ini sering berkata, “Kakak ke adik (istri pertama) aja deh…” Begitupun sebaliknya. Duh, indahnya…
Ketiga, pendidikan dan canda. Sebagaimana disebutkan di awal, dai yang memiliki suara khas ini mengumpulkan dua istrinya setiap malam Jum’at untuk memperdalam ajaran agama Islam. Dari aktivitas itulah, mereka bisa senantiasa memperbarui komitmen keislaman yang bisa semakin menumbuhkan cinta antara mereka.
Selain itu, keluarga juga tidak bisa sepi atau hambar dari canda. Sebagai contoh, ketika beliau bersama istri pertama, maka istri kedua akan menggoda dengan mengatakan, “Nostalgia nih ye…” Sedangkan jika bersama istri kedua, istri pertama akan balas mencandai, “Ayang (panggilan manja pengganti ‘Sayang’) lagi pacaran nih ye…”
Satu hal yang penting dicatat, kedua istri beliau tinggal di rumah yang sama. Baru berpindah rumah akhir-akhir ini setelah anak hasil cinta mereka bertambah.
Ah, rasa-rasanya, jika semua pelaku poligami bersikap sebijak ini, pembaca juga pingin nyusul ya? :) [Pirman/Kisahikmah]
Sumber: http://kisahikmah.com/kisah-sukses-poligami-ustadz-m-arifin-ilham/