5 Hal yang Membatalkan I’tikaf

Di antara hal-hal yang dianggap membatalkan i’tikaf antara lain :

1. Jima’

Dasar yang menjadi alasan kenapa jima’ itu membatalkan i’tikaf adalah firman Allah SWT :

وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“…Dan janganlah kamu melakukan persetubuhan ketika kamu beri’tikaf di masjid…”. (QS. Al-Baqarah : 187)

Mungkin sulit dibayangkan ada orang melakukan jima’ di dalam masjid, apalagi sedang dalam keadaan beri’tikaf. Bukankah masjid itu tempat umum dan biasanya banyak orang, lalu bagaimana caranya berjima’ di tempat umum yang banyak orang?

2. Keluar Dari Masjid

Yang dimaksud dengan keluar dari masjid adalah apabila seseorang keluar dengan seluruh tubuhnya dari masjid. Sedangkan bila hanya sebagian tubuhnya yang keluar dan sebagian lainnya masih tetap berada di dalam masjid, hal itu belum dianggap membatalkan i’tikaf. Sebab kejadian itu dilakukan oleh Rasulullah SAW sebagaimana disebutkan di dalam hadits berikut :

كَانَ رَسُول اللَّهِ  يُدْنِي إِلَيَّ رَأْسَهُ وَأَنَا فِي حُجْرَتِي فَأُرَجِّل رَأْسَهُ وَأَنَا حَائِضٌ

Rasulullah SAW menjulurkan sebagian kepalanya kepadaku, padahal aku berada di dalam kamarku. Maka aku menyisirkan rambut kepalanya sedangkan aku sedang haidh. (HR. Bukhari dan Muslim)

Para ulama sepakat mengatakan bahwa di antara hal-hal yang membatalkan i’tikaf adalah ketika seseorang keluar dari masjid, tanpa hajat yang masyru’. Namun mereka berbeda pendapat ketika menetapkan jenis hajat apa saja yang dianggap masyru’ dan tidak membatalkan i’tikaf :

a. Buang Air dan Mandi Wajib

Para ulama sepakat bila seorang yang sedang beri’tikaf kebelet harus pipis atau buang air besar, maka keluarnya dari masjid tentu tidak membatalkan i’tikafnya. Sebab buang air kecil di masjid termasuk sesuatu yang diharamkan oleh Rasulullah.

Demikian juga dengan mandi wajib, yaitu mandi janabah. Bila seorang yang sedang beri’tikaf di masjid, tiba-tiba dalam tidurnya bermimpi hingga keluar mani, maka dia wajib segera meninggalkan masjid, untuk melaksanakan mandi janabah. Untuk itu, keluarnya dari masjid tidak membatalkan i’tikafnya.

Dasar kebolehannya adalah hadits berikut ini :

عن عَائِشَة أَنَّ النَّبِيَّ  كَانَ لاَ يَدْخُل الْبَيْتَ إِلاَّ لِحَاجَةٍ إِذَا كَانَ مُعْتَكِفًا

Dari Aisyah radhiyallahuanha bahwa Nabi SAW tidak masuk ke dalam rumah kecuali karena ada hajat, bila beliau sedang beri’tikaf. (HR. Bukhari Muslim)

Termasuk ke dalam kebolehan ketika beri’tikaf adalah kepentingan untuk membuang benda-benda najis yang kebetulan ada di dalam masjid. Juga bila seseorang merasa ingin muntah, entah karena sakit atau sebab lain, pada saat dia sedang beri’tikaf, maka dia boleh keluar masjid tanpa membatalkan i’tikafnya.

Dan untuk semua ini, tidak diharuskan dengan cara berlari terburu-buru. Silahkan saja semua dilakukan dengan santai dan tenang tanpa harus takut batal i’tikafnya.

Sedangkan apabila hajatnya itu sekedar berwudhu’, maka menurut Asy-Syafi’iyah, bisa dikerjakan di dalam masjid.

b. Makan dan Minum

Madzhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah sepakat mengatakan bahwa seorang yang sedang beri’tikaf lalu keluar masjid untuk kepentingan makan atau minum, maka i’tikafnya batal dengan sendirinya.

Sebab seharusnya, ketika mau beri’tikaf, mereka sudah menetapkan orang yang akan melayani atau membawakan mereka makanan dan minuman ke dalam masjid. Sehingga mereka tidak perlu keluar untuk mencari makan.

Hal itu juga didasari oleh pendapat mereka bahwa makan dan minum di dalam masjid sama sekali tidak ada larangan atau kemakruhan.

Sedangkan madzhab Asy-Syafi’iyah membolehkan seseorang yang sedang beri’tikaf untuk keluar masjid demi mencari makanan atau minuman. Dan dalam madzhab ini, makan dan minum di masjid termasuk hal yang kurang didukung, karena dianggap agak memalukan.

c. Menjenguk Orang Sakit dan Shalat Jenazah

Rasulullah SAW diriwayatkan pernah ketika sedang beri’tikaf, beliau keluar masjid dan menjenguk orang sakit. Dasarnya adalah hadits marfu’ yang oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani didhaifkan :

أَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ كَانَ يَمُرُّ بِالْمَرِيضِ وَهُوَ مُعْتَكِفٌ

Rasulullah SAW pernah menjenguk orang sakit padahal beliau sedang beri’tikaf. (HR. Abu Daud)

Namun karena kelemahan periwayatan sanadnya, maka kebanyakan ulama tidak memperbolehkan orang yang sedang beri’tikaf untuk keluar masjid hanya sekedar untuk menjenguk orang yang sedang sakit atau untuk menshalatkan jenazah.

Namun kalau sebelumnya seseorang keluar masjid karena ada hajat yang masyru’, kemudian pulangnya sekalian menjenguk orang sakit atau menshalatkan jenazah seseorang, oleh sebagian ulama hal itu dianggap boleh. Syaratnya, semua dilakukan dengan tidak terlalu lama.

3. Murtad

Orang yang sedang beri’tikaf lalu tiba-tiba dia murtad atau keluar dari agama Islam, maka i’tikafnya otomatis batal dengan sendirinya. Sebab keislaman seseorang menjadi salah satu syarat sah i’tikaf.

Dasar dari ketentuan ini adalah fiman Allah SWT :

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Bila kamu menyekutukan Allah (murtad), maka Allah akan menghapus amal-amalmu dan kamu pasti jadi orang yang rugi.” (QS Az-Zumar )

4. Mabuk

Jumhur ulama sepakat apabila seorang yang sedang beri’tikaf mengalami mabuk, maka i’tikafnya batal. Itu adalah pendapat madzhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah.

Sedangkan madzhab Al-Hanafiyah berpendapat bahwa orang yang mabuk saat beri’tikaf tidak batal, kalau kejadiannya malam hari. Sedangkan kalau kejadiannya di siang hari, mabuk itu membatalkan puasa. Dan dengan batalnya puasa, maka i’tikafnya juga ikut batal juga.

5. Haidh dan Nifas

Kala seorang wanita menjalani i’tikaf, lalu tiba-tiba keluar darah haidh, maka otomatis batal i’tikafnya.

Demikian pula wanita yang baru melahirkan dan merasa sudah selesai nifasnya, kalau ketika dia beri’tikaf lalu tiba-tiba darah nifasnya keluar lagi, dan memang masih dimungkinkan karena masih dalam rentang waktu kurang dari 60 hari, maka dia harus meninggalkan masjid. (Galafath)


Sumber: http://rumahfiqih.com/x.php?id=1375108483&=fiqih-i%27tikaf-lengkap.htm