Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri*
Di kolom ‘Resonansi’ ini beberapa kali saya menulis tentang Turki. Tepatnya mengenai keberhasilan AKP (Partai Keadilan dan Pembangunan)yang dipimpin Recep Tayyib Erdogan. Dalam bidang ekonomi misalnya, hanya dalam 10 tahun sejak Erdogan menjadi perdana menteri (PM) pada 2002 ia telah berhasil meningkatkan lebih dari tiga kali lipat pendapatan per kapita warga Turki. Yaitu dari hanya 3 ribu menjadi 13 ribu dolar AS.
Keberhasilan itu tentu tak lepas dari dasar ekonomi yang dirancang Erdogan. Misalnya, dari ekonomi Turki yang dulu lebih banyak mengandalkan sektor pertanian lalu ia ubah dengan menengok sektor industri dan jasa. Hasilnya, dari jumlah kunjungan wisatawan asing yang hanya 4 juta menjadi 35 juta orang per tahun, yang hanya ditempuh dalam 10 tahun pemerintahan Erdogan.
Namun, untuk mencapai keberhasilan itu tentu tidak semudah ‘bim salabim jadi’. Apalagi, pada waktu itu Turki dikenal sebagai ‘negara sakit’ di Eropa. Ada tiga penyakit kronis sebelum AKP/Erdogan berkuasa sejak 13 tahun lalu. Pertama, dominasi militer di segala kehidupan masyarakat. Kedua, korupsi yang merajalela. Ketiga, perang terbuka dengan suku Kurdi.
AKP/Erdogan tampaknya paham betul bahwa untuk memperbaiki ekonomi Turki diperlukan stabilitas politik dan keamanan. Karena itu, tiga penyakit kronis ini menjadi prioritasnya.
Terkait peran militer, ia bersiasat Turki penting menjadi anggota Masyarakat Eropa (ME) dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Sebab, syarat utama menjadi anggota di dua organisasi ini, sebuah negara harus menerapkan demokrasi. Sedangkan prasyarat demokrasi adalah tidak adanya campur tangan militer dalam urusan politik. Inilah yang sukses dilakukan Erdogan. Kini peran militer sebatas pertahanan negara alias kembali ke barak.
Sementara itu, untuk memberantas korupsi Erdogan di awal permerintahannya sangat keras terhadap dirinya dan partainya sebelum memberlakukannya ke pihak lain. Ia tak segan-segan menghukum orang-orang partainya apabila terlibat korupsi. Hasilnya, pemerintahan Erdogan dikenal sangat bersih. Bersamaan dengan itu ia pun memangkas birokrasi panjang warisan pemeritahan sebelumnya.
Ternyata korupsi dan birokrasi erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi. Ini terbukti ketika para pejabat tidak korup dan birokrasi tidak bertele-tele, ekonomi Turki pun cepat menggeliat. Setelah 10 tahun AKP/Erdogan berkuasa, Turki yang tadinya sakit sudah menjadi kekuatan ekonomi ketujuh di Eropa.
Sedangkan terhadap suku Kurdi, di mana militer Turki telah menghabiskan miliaran dolar dari pajak rakyat untuk memerangi mereka, bukan lagi persoalan besar buat negara itu.Selama ini suku Kurdi yang berjumlah 15 persen dari jumlah penduduk Turki yang sekitar 80 juta jiwa menuntut pemisahan diri dan mendirikan negara Kurdi merdeka.
Namun, setelah pemerintahan Erdogan mengakui hak-hak suku Kurdi dalam menggunakan bahasa dan budaya mereka, pemimpin Kurdi Abdullah Ocalan yang berada di penjara pun menawarkan perundingan. Dia pun memerintahankan tentaranya meletakkan senjata. Apalagi Erdogan juga berjanji menjamin keterwakilan suku Kurdi dalam parlemen Turki.
Dengan berbagai keberhasilan pemerintahan Erdogan itu, tidak aneh bila AKP selalu menang dalam setiap pemilu. Kemenangan yang kemudian mengantarkan Erdogan menjadi PM sejak 2002. Setelah menjabat sebagai PM selama 12 tahun, Erdogan pun mulai mengincar posisi presiden. Posisi yang kemudian ia peroleh pada Agustus 2014, setelah ia memenangkan pemilu presiden secara langsung untuk pertama kalinya dalam sejarah Turki.
Namun, dalam sistem parlemen Turki, presiden hanyalah simbolik. Peranannya hanyalah seremonial. Ia hanya sebatas tukang stempel. Sebuah peran yang tentu tidak diinginkan Erdogan. Karena itulah ia lalu merancang perubahan konstitusi yang memberikan peran lebih besar kepada presiden sebagai kepala negara dan sekaligus kepala eksekutif. Perubahan yang ia sebut sebagai ‘konstitusi baru menuju negara Turki baru’.
Di sinilah kemudian muncul berbagai persolaan. Para lawan politik Erdogan menuduhnya sebagai ambisius. Mereka mengatakan keinginan untuk mengubah konstitusi dari sistem parlemen menuju sistem presidensial hanyalah untuk memenuhi ambisi pribadi Erdogan untuk tetap berkuasa.
Ya, kekuasaan yang terlalu lama terkadang membuat seseorang lupa diri. Kekuasaan seringkali menyebabkan seseorang menjadi otoriter. Hal inilah yang juga dialamatkan kepada Erdogan. Apalagi ketika kemudian ia menyingkirkan senior-senior partai yang bersama-sama Erdogan membesarkan AKP seperti halnya Abdullah Gul (pendiri AKP dan mantan presiden Turki). Ia lalu menggantikan mereka dengan kader-kader muda yang loyal kepadanya. Termasuk ketika pada 2014 lalu ia menunjuk Ahmat Davutoglu sebagai PM dan ketua AKP.
Tuduhan-tuduhan lain yang dianggap sebagai kesewenang-wenangan Erdogan antara lain cap otoriter ketika ia memberangus para demonstran (demonstrasi Gezi Park) pada 2013 lalu. Juga skandal korupsi yang melibatkan orang-orang dekat Erdogan. Padahal, tema pemberantasan korupsi inilah yang menjadi perhatian utama pada masa awal pemerintahannya.
Selanjutnya ia pun menyingkirkan para pengikut Fathullah Gulen, ulama dan intelektual Muslim yang kini bermukim di AS. Erdogan menuduh mereka sebagai ‘negara di dalam negara’, merujuk kepada lembaga-lembaga sosial dan pendidikan yang tersebar di seluruh penjuru Turki yang dikelola oleh orang-orang Fathullah Gulen.
Dengan berbagai tuduhan dan skandal yang menyelimuti Erdogan dan AKP itu tidak aneh bila pada pemilu parlemen tanggal 7 Juni 2015 lalu hampir semua partai oposisi ‘mengeroyok’ mereka. Para partai oposisi ini menginginkan untuk mengakhiri dominasi AKP dan Erdogan yang telah berkuasa sejak 2002 lalu.
Hasilnya, AKP hanya memperoleh 41 persen suara atau 259 kursi dari 550 kursi parlemen Turki, turun dibandingkan dengan tiga pemilu sebelumnya di mana AKP memperoleh suara mayoritas mutlak. Disusul kemudian oleh CHP (Republican People’s Party) yang memperoleh 25 persen suara, MHP (Nationalist Movement Party) 16.3 persen, dan HDP (Peoples Democratic Party) 13.1 persen suara.
Penurunan perolehan suara AKP ini, sebagai mana dikatakan para pengamat Turki dan pemimpin partai oposisi, dianggap sebagai ‘teguran rakyat Turki terhadap Tuan Erdogan’. Menurut mereka, kekuasaan seseorang harus dibatasi. Kekuasaan yang tanpa batas cenderung korup dan sewenang-wenang.
Dengan perolehan suara AKP seperti ini maka mereka tidak bisa menbentuk pemerintahan sendiri. AKP harus berkoalisi. Bahkan dengan gagalnya AKP memperoleh dua pertiga suara di parlemen, mereka juga tidak dapat menggolkan perubahan undang-undang -- dari sistem parlemen menjadi presidensial -- tanpa referendum rakyat.
Menurut konstitusi Turki, hanya ada dua alternanatif yang bisa dilakukan oleh Presiden Erdogan. Pertama, memerintahkan ketua AKP membentuk pemerintahan koalisi dengan salah satu dari tiga partai pemenang pemilu. Hingga tulisan ini dibuat, para pemimpin tiga partai oposisi tersebut telah dengan terang-terangan menolak koalisi lantaran perbedaan prinsip yang mendasar dengan AKP.
Kedua, bila hingga 45 hari sejak pengumuman hasil pemilu belum terbentuk pemerintahan koalisi, maka Presiden Erdogan harus memerintahkan pemilu ulang. Pemilu yang hasilnya susah diprediksi dan tidak dikehendaki oleh AKP maupun Erdogan sendiri.
Apapun yang akan ditempuh para politisi di Turki, kita tentu berharap gonjang-ganjing politik ini tidak sampai menyebabkan kekacauan di negeri itu. Turki selama ini dipandang sebagai contoh negara Islam (berpenduduk mayoritas Muslim) yang maju, demokratis, modern, dan stabil, di tengah negara-negara kawasan Timur Tengah yang penuh dengan kekacauan.[]
*Kolom Resonansi Republika
Ikhwanul Kiram Mashuri. Sejak lulus dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, pria kelahiran Kediri, 5 August 1958 ini memutuskan menggeluti dunia jurnalistik. Kini ia menjadi wartawan senior Harian Republika. Di sela-sela tugasnya sehari-hari sebagai Direktur News dan Konten di Grup Republika, mantan pemred Harian Republika yang juga alumi Pondok Pesantren Modern Gontor ini kerap memberikan siraman rohani, baik di kalangan internal maupun masyarakat luar.
Di kolom ‘Resonansi’ ini beberapa kali saya menulis tentang Turki. Tepatnya mengenai keberhasilan AKP (Partai Keadilan dan Pembangunan)yang dipimpin Recep Tayyib Erdogan. Dalam bidang ekonomi misalnya, hanya dalam 10 tahun sejak Erdogan menjadi perdana menteri (PM) pada 2002 ia telah berhasil meningkatkan lebih dari tiga kali lipat pendapatan per kapita warga Turki. Yaitu dari hanya 3 ribu menjadi 13 ribu dolar AS.
Keberhasilan itu tentu tak lepas dari dasar ekonomi yang dirancang Erdogan. Misalnya, dari ekonomi Turki yang dulu lebih banyak mengandalkan sektor pertanian lalu ia ubah dengan menengok sektor industri dan jasa. Hasilnya, dari jumlah kunjungan wisatawan asing yang hanya 4 juta menjadi 35 juta orang per tahun, yang hanya ditempuh dalam 10 tahun pemerintahan Erdogan.
Namun, untuk mencapai keberhasilan itu tentu tidak semudah ‘bim salabim jadi’. Apalagi, pada waktu itu Turki dikenal sebagai ‘negara sakit’ di Eropa. Ada tiga penyakit kronis sebelum AKP/Erdogan berkuasa sejak 13 tahun lalu. Pertama, dominasi militer di segala kehidupan masyarakat. Kedua, korupsi yang merajalela. Ketiga, perang terbuka dengan suku Kurdi.
AKP/Erdogan tampaknya paham betul bahwa untuk memperbaiki ekonomi Turki diperlukan stabilitas politik dan keamanan. Karena itu, tiga penyakit kronis ini menjadi prioritasnya.
Terkait peran militer, ia bersiasat Turki penting menjadi anggota Masyarakat Eropa (ME) dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Sebab, syarat utama menjadi anggota di dua organisasi ini, sebuah negara harus menerapkan demokrasi. Sedangkan prasyarat demokrasi adalah tidak adanya campur tangan militer dalam urusan politik. Inilah yang sukses dilakukan Erdogan. Kini peran militer sebatas pertahanan negara alias kembali ke barak.
Sementara itu, untuk memberantas korupsi Erdogan di awal permerintahannya sangat keras terhadap dirinya dan partainya sebelum memberlakukannya ke pihak lain. Ia tak segan-segan menghukum orang-orang partainya apabila terlibat korupsi. Hasilnya, pemerintahan Erdogan dikenal sangat bersih. Bersamaan dengan itu ia pun memangkas birokrasi panjang warisan pemeritahan sebelumnya.
Ternyata korupsi dan birokrasi erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi. Ini terbukti ketika para pejabat tidak korup dan birokrasi tidak bertele-tele, ekonomi Turki pun cepat menggeliat. Setelah 10 tahun AKP/Erdogan berkuasa, Turki yang tadinya sakit sudah menjadi kekuatan ekonomi ketujuh di Eropa.
Sedangkan terhadap suku Kurdi, di mana militer Turki telah menghabiskan miliaran dolar dari pajak rakyat untuk memerangi mereka, bukan lagi persoalan besar buat negara itu.Selama ini suku Kurdi yang berjumlah 15 persen dari jumlah penduduk Turki yang sekitar 80 juta jiwa menuntut pemisahan diri dan mendirikan negara Kurdi merdeka.
Namun, setelah pemerintahan Erdogan mengakui hak-hak suku Kurdi dalam menggunakan bahasa dan budaya mereka, pemimpin Kurdi Abdullah Ocalan yang berada di penjara pun menawarkan perundingan. Dia pun memerintahankan tentaranya meletakkan senjata. Apalagi Erdogan juga berjanji menjamin keterwakilan suku Kurdi dalam parlemen Turki.
Dengan berbagai keberhasilan pemerintahan Erdogan itu, tidak aneh bila AKP selalu menang dalam setiap pemilu. Kemenangan yang kemudian mengantarkan Erdogan menjadi PM sejak 2002. Setelah menjabat sebagai PM selama 12 tahun, Erdogan pun mulai mengincar posisi presiden. Posisi yang kemudian ia peroleh pada Agustus 2014, setelah ia memenangkan pemilu presiden secara langsung untuk pertama kalinya dalam sejarah Turki.
Namun, dalam sistem parlemen Turki, presiden hanyalah simbolik. Peranannya hanyalah seremonial. Ia hanya sebatas tukang stempel. Sebuah peran yang tentu tidak diinginkan Erdogan. Karena itulah ia lalu merancang perubahan konstitusi yang memberikan peran lebih besar kepada presiden sebagai kepala negara dan sekaligus kepala eksekutif. Perubahan yang ia sebut sebagai ‘konstitusi baru menuju negara Turki baru’.
Di sinilah kemudian muncul berbagai persolaan. Para lawan politik Erdogan menuduhnya sebagai ambisius. Mereka mengatakan keinginan untuk mengubah konstitusi dari sistem parlemen menuju sistem presidensial hanyalah untuk memenuhi ambisi pribadi Erdogan untuk tetap berkuasa.
Ya, kekuasaan yang terlalu lama terkadang membuat seseorang lupa diri. Kekuasaan seringkali menyebabkan seseorang menjadi otoriter. Hal inilah yang juga dialamatkan kepada Erdogan. Apalagi ketika kemudian ia menyingkirkan senior-senior partai yang bersama-sama Erdogan membesarkan AKP seperti halnya Abdullah Gul (pendiri AKP dan mantan presiden Turki). Ia lalu menggantikan mereka dengan kader-kader muda yang loyal kepadanya. Termasuk ketika pada 2014 lalu ia menunjuk Ahmat Davutoglu sebagai PM dan ketua AKP.
Tuduhan-tuduhan lain yang dianggap sebagai kesewenang-wenangan Erdogan antara lain cap otoriter ketika ia memberangus para demonstran (demonstrasi Gezi Park) pada 2013 lalu. Juga skandal korupsi yang melibatkan orang-orang dekat Erdogan. Padahal, tema pemberantasan korupsi inilah yang menjadi perhatian utama pada masa awal pemerintahannya.
Selanjutnya ia pun menyingkirkan para pengikut Fathullah Gulen, ulama dan intelektual Muslim yang kini bermukim di AS. Erdogan menuduh mereka sebagai ‘negara di dalam negara’, merujuk kepada lembaga-lembaga sosial dan pendidikan yang tersebar di seluruh penjuru Turki yang dikelola oleh orang-orang Fathullah Gulen.
Dengan berbagai tuduhan dan skandal yang menyelimuti Erdogan dan AKP itu tidak aneh bila pada pemilu parlemen tanggal 7 Juni 2015 lalu hampir semua partai oposisi ‘mengeroyok’ mereka. Para partai oposisi ini menginginkan untuk mengakhiri dominasi AKP dan Erdogan yang telah berkuasa sejak 2002 lalu.
Hasilnya, AKP hanya memperoleh 41 persen suara atau 259 kursi dari 550 kursi parlemen Turki, turun dibandingkan dengan tiga pemilu sebelumnya di mana AKP memperoleh suara mayoritas mutlak. Disusul kemudian oleh CHP (Republican People’s Party) yang memperoleh 25 persen suara, MHP (Nationalist Movement Party) 16.3 persen, dan HDP (Peoples Democratic Party) 13.1 persen suara.
Penurunan perolehan suara AKP ini, sebagai mana dikatakan para pengamat Turki dan pemimpin partai oposisi, dianggap sebagai ‘teguran rakyat Turki terhadap Tuan Erdogan’. Menurut mereka, kekuasaan seseorang harus dibatasi. Kekuasaan yang tanpa batas cenderung korup dan sewenang-wenang.
Dengan perolehan suara AKP seperti ini maka mereka tidak bisa menbentuk pemerintahan sendiri. AKP harus berkoalisi. Bahkan dengan gagalnya AKP memperoleh dua pertiga suara di parlemen, mereka juga tidak dapat menggolkan perubahan undang-undang -- dari sistem parlemen menjadi presidensial -- tanpa referendum rakyat.
Menurut konstitusi Turki, hanya ada dua alternanatif yang bisa dilakukan oleh Presiden Erdogan. Pertama, memerintahkan ketua AKP membentuk pemerintahan koalisi dengan salah satu dari tiga partai pemenang pemilu. Hingga tulisan ini dibuat, para pemimpin tiga partai oposisi tersebut telah dengan terang-terangan menolak koalisi lantaran perbedaan prinsip yang mendasar dengan AKP.
Kedua, bila hingga 45 hari sejak pengumuman hasil pemilu belum terbentuk pemerintahan koalisi, maka Presiden Erdogan harus memerintahkan pemilu ulang. Pemilu yang hasilnya susah diprediksi dan tidak dikehendaki oleh AKP maupun Erdogan sendiri.
Apapun yang akan ditempuh para politisi di Turki, kita tentu berharap gonjang-ganjing politik ini tidak sampai menyebabkan kekacauan di negeri itu. Turki selama ini dipandang sebagai contoh negara Islam (berpenduduk mayoritas Muslim) yang maju, demokratis, modern, dan stabil, di tengah negara-negara kawasan Timur Tengah yang penuh dengan kekacauan.[]
*Kolom Resonansi Republika
Ikhwanul Kiram Mashuri. Sejak lulus dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, pria kelahiran Kediri, 5 August 1958 ini memutuskan menggeluti dunia jurnalistik. Kini ia menjadi wartawan senior Harian Republika. Di sela-sela tugasnya sehari-hari sebagai Direktur News dan Konten di Grup Republika, mantan pemred Harian Republika yang juga alumi Pondok Pesantren Modern Gontor ini kerap memberikan siraman rohani, baik di kalangan internal maupun masyarakat luar.